Aku
masih ingat bagaimana dia marah dan panik ketika aku melarikan diri dari rumah.
Aku juga masih ingat bagaimana dia memindahkan adikku sejauh-jauhnya dariku,
agar tidak berkelahi lagi denganku. Aku juga masih ingat bagaimana dia
memarahiku ketika aku pulang sekolah tanpa mengenakan pakaian seragamku, karena
begitu nakalnya aku sepulang Sekolah Dasar bukannya pulang kerumah tetapi malah
pergi kesungai dan berenang disana bersama teman-temanku hingga pulang dengan
baju basah yang enggan ku pakai kembali, dengan mata merah dan rambut gimbal
serta amis. Aku juga masih ingat bagaimana dia membentakku karena aku
menghidupkan musik terlalu kuat padahal dia sedang bekerja. Ketika aku ambil
lauk di piringnya dan aku bawa lari, sehingga dia harus berkali-kali kedapur
untuk mengambil lauk yang telah aku lenyapkan tadi. Aku juga masih ingat
bagaimana dia harus berkali-kali minta maaf kepada tetanggaku karena anak
mereka yang bermain denganku selalu aku buat celaka. Kulup kepalanya harus
ditambal karena aku lempar dengan batu, Indri yang matanya harus terluka karena
tongkat “lele” ku mengenai matanya, Yogi yang menangis karena mainannya aku
porak-porandakan, Yuli yang juga menangis karena bibirnya aku plintir hingga
memerah karena telah mengejekku. Aku masih ingat semua kenakalan dan
kecerobohanku bertahun-tahun yang lalu, yang sempat membuat jantungnya lemah.
Aku tahu penyakit itu hampir saja merebut dia dari hidupku. Ketika dibelakang
rumah aku mendengar ratapan, do’a dan tangisnya “Duh Gusti, sakit ini begitu luar biasa, aku tidak sanggup menahannya,
tapi aku ingin tetap hidup untuk putriku satu-satunya dan untuk putraku
satu-satunya”. Ketika itu aku hanya bisa menangis dibelakangnya dan aku
berlari memeluknya dan berbisik “Bapak
tidak apa-apa kan?”, dia hanya memelukku dan mengusap rambutku yang lumayan
gimbal pada masa itu. Dan saat itu hanya tangis yang pilu yang menjawab
pertanyaanku.
Sejak
itu, aku tidak lagi mengumbar kebrutalanku, aku tidak lagi menjadi anak nakal
dan bandel yang menyebabkan dia sakit. Aku menjadi anak rumahan yang setiap
saat selalu ada ketika dia memanggilku dan membutuhkan bantuanku. Aku jarang
bermain dengan teman-temanku lagi karena aku hanya ingin dia ada disampingku.
Tapi semua tidak berlangsung lama, kelulusan ku dari sekolah dasar membuat
pikirannya berubah dan aku sempat marah besar kepadanya. Dia memindahkanku
sekolah di Sekolah Menengah Pertama yang sanagt jauh dari jangkauan orang tuaku.
Aku sempat meminta kepada istrinya untuk tidak memindahkanku sejauh itu, aku
merasa dibuang dan tidak dibutuhkan. Apa yang dia lakukan untukku? Dia hanya
memelukku dan berusaha menenangkan pecahnya tangisku. “ Aku tidak mau pisah dari kalian…, jangan pindahkan aku sejauh itu,
Bapak..”. Pandangan matanya pun kosong “Engkau
akan lebih dewasa dan mandiri di sana, anakku. Bapak sangat menyayangimu.”
Rontaan ku ternyata tidak ada gunanya, aku tetap dikirim ketempat yang bagiku
amat mengerikan itu, jauh dari mereka berdua serta adik semata wayangku,
sungguh serasa dunia tidak lagi menginginkanku.
Aku
melihat mobil mereka semakin lenyap ditelan tikungan jalan yang sempit itu,
tanganku meronta-ronta ingin mengejar mobil yang telah membawa pergi orang tua
ku dan adikku. Namun semua sia-sia, tangan kekar Pakde ku jauh lebih berkuasa
memegang lenganku yang saat itu hanya seukuran selang. Aku menangis tiada diam,
sehingga menyebabkan tetangga baruku berhamburan menyaksikanku terpekur di
tengah jalan dan didampingi Pakde dan Bude yang akan menjadi orang tua baru
bagiku. Sia-sia, semua sia-sia aku tak berhasil membuat mobil itu kembali lagi,
yang aku tahu, hari berikutnya aku tetap menangis dan menangis. Bude kalang
kabut menenangkanku, dia mengajakku kepasar didekat kebun teh itu dan
membelikan apapun yang aku mau, tapi semua sungguh sia-sia saja. Hari-hari
berikutnya disekolah baruku, aku tidak mendapat satu temanpun, karena aku tidak
menguasai bahasa yang digunakan oleh penduduk daerah ini “Bahasa Jawa” yang
sangat sulit aku mengerti waktu itu. Sepulang sekolahpun aku hanya bisa
terpekur di dalam gudang menikmati alunan tangisku sendiri berharap mereka,
orangtuaku mendengarkanku, berubah pikiran dan menjemputku. Hari berganti hari
semuanya tiada guna, bahkan aku rasa mobil yang mereka naikipun sudah
menyeberang lautan sana. Dan meninggalkanku untuk beberapa tahun kemudian.
Entah
setan apa yang merasuk kedalam pikiranku, lambat laun aku menikmati hidup
dilingkungan baruku dan “mereka” orang tuaku agak terlupakan meski yang aku
tahu uang tahunan selalu mampir kedompetku. Yang aku tahu, aku hanya membantu
Pakde dan Bude ku di sawah, membereskan rumah, memelihara kambing, dan
aktivitas lainnya yang lazim dilakukan kaum perempuan. Bahkan ketika adik
semata wayangku khitanan pun aku sama sekali tidak tahu. Hampir tiga tahun
lamanya, ketika aku terima surat terakhir dari dia, orang tuaku yang tertulis :
“……….Nduk, rajin-rajinlah belajar
sebentar lagi Ebtanas, jangan sampai tidak lulus ya. Nanti kalau lulus Bapak
akan menjemputmu untuk pulang kerumah lagi. Dan kita bisa bersama lagi, kami
semua disini merindukanmu”. Aku terlonjak girang bukan kepalang. Yang aku
tahu waktu itu aku harus lulus Ebtanas dan aku harus pulang kerumah. Meski
sedikit dilubuk hati ini merasa sedih, berarti aku harus meninggalkan teman-temanku
juga meninggalkan “dia”, yah, dia yang sempat mengisi bagian dari perjalanan
hidupku yang tak begitu menyenangkan. Meski sesak rasanya, tapi kepulanganku
kerumah lebih aku harapkan ketimbang “dia”. Bayangkan selama tiga tahun saja
aku bisa hidup tanpa orang tua ku apalagi tanpa dia. Aku menjadi orang yang sangat
keras kepala. Bapak datang menjemputku, ketika itu aku berada disekolah dan
harus menghadiri acara perpisahan sekolah menengah pertama waktu itu.
Tidak
sia-sia keputusannya untuk “membuang” aku ke pulau Jawa ternyata membuahkan
hasil. Pakde dan Bude ku selalu menceritakan tentang perubahanku yang semakin
membaik. Saat menginjak kelas 3 SMP seperti ada sesuatu yang menyelinap dalam
hingga kerelung-relung jiwa yang kering ini. Sesuatu yang saat itu aku tidak
pernah perduli apa namanya. Aku memang bukan wanita yang sholehah, ilmu agama
yang aku miliki mungkin lebih lebar kuku kelingkingku. Jangankan untuk
memperdalam agama, sekedar ngaji saja aku tidak mau, padahal Masjid Al-Huda itu
jaraknya cuma tiga dari rumah Pakde dan Bude ku. Tapi lagi-lagi rasa itu yang sangat istimewa.
Diam-diam aku comot Al-Qur’an milik Mbak Mimin anak Pakde ku yang sudah menikah
dan tidak lagi tinggak disana. Al-Qur’an yang using dan tebalnya setara dua
kilo ubi jalar itu aku buka dan aku elus-elus. Ada magnet yang menarikku kesana,
menarikku untuk membacanya. Aku terpaku, “rasanya
kok sulit ya” aku membatin. Aku teringat pertama kali aku masuk SMP, guru
mata pelajaran Agama Islam menyuruhku kedepan dan menyuruh ku untuk membaca
Al-Qur’an, awalnya aku ragu apa aku bisa, setelah ku lihat dan ku perhatikan
aku mulai membacanya, “Oh, ternyata ayat
3 serangkai” aku nyengir didalam hati. Seingatku dulu waktu SD aku memang
sempat mengaji dan bersekolah Madrasah, tapi hanya beberapa waktu saja karena
aku sering membuat menangis teman-temanku, dan membuat guru ngaji dan guru
Madrasah ku memarahiku. Sehingga aku berhenti karena tidak tahan dengan amarah
orangtua ku.
Kulanjutkan
dengan membaca Al-Qur’an yang usah tadi, sedikit terbata-bata. Lama-lama aku
merasa nyaman dan damai. Aku pun teringat kedua orang tua ku dan adik semata
wayangku. Aku menangis tapi tidak meraung seperti dulu. Orang tua ku pasti
bangga dengan ku, apalagi setelah aku baca surat terakhirnya itu, mereka akan
menjemputku. Tidak hanya itu, aku sukses meraih peringkat ke tujuh dari 300
lebih murid SMP saat ujian akhir. Aku minta kedatangan Bapak untuk menjemputku
dipercepat, karena aku ingin Bapak yang maju kedepan ketika namaku disebutkan
sebagai siswi yang masuk kedalam 10 besar. Saat maju kedepan, aku menangis dan
membatin “Bapak, aku tahu aku memang
nakal, suatu saat nanti aku akan mengganti semua kenakalanku kemarin”.
Dengan bangga Bapak dengan membawa adikku. Aku tahu senyum bangga itu tak akan
hilang dari wajahnya, terukir jelas yah jelas sampai saat ini. Saat sekarang
aku telah menjauh lagi dari mereka orang-orang yang aku cintai.
Kisah
dulu berbalik 180 derajat bedanya. Sekarang aku menjadi anak perempuan yang
memang benar-benar disayangnya. Apapun yang aku mau, semua terpenuhi dengan
segera. Saat aku bisa melanjutkan studiku ketingkat yang tak pernah aku impikan
sebelumnya. Bapak, aku tahu pengorbanan mu. Engkau rela tidak bekerja saat
mendadak aku telpon “Pak, bisa kirim
surat ini, surat itu, foto copy ini, foto copy itu?” serobotku. “Iya bisa, nanti diusahakan 1 hari nyampe.”
Semangat sekali dia. Saat aku sakit, aku tahu engkau meninggalkan semuanya demi
menjagaku, entah berapa banyak piti yang harus dia keluarkan karena membiayai
perawatan ku diRS karena sakit ku yang aku sendiri tak tahu sakit apa.
Dia
mengirimkan semua yang aku minta, yang aku mau, yang aku inginkan. Kadang aku
berfikir, bagaimana caranya aku bisa mengganti tetesan keringat yang kau
keluarkan saat harus mengantarku membuat KTP, memperpanjang SIM, membeli baju,
membeli ini-itu, mengantarkanku kesana-kemari, dengan apa?. Aku terpaku disaat
mala mini. Sangat terpaku. Lirih rongga dada ku membatin, “I LOVE YOU, DAD”,
sambil menutup laptop ku aku tersenyum untuk Bapakku.
Siti Kurniasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar