Beranda Cand

Jumat, 20 April 2012

AKU DAN DIA


 
Aku masih ingat bagaimana dia marah dan panik ketika aku melarikan diri dari rumah. Aku juga masih ingat bagaimana dia memindahkan adikku sejauh-jauhnya dariku, agar tidak berkelahi lagi denganku. Aku juga masih ingat bagaimana dia memarahiku ketika aku pulang sekolah tanpa mengenakan pakaian seragamku, karena begitu nakalnya aku sepulang Sekolah Dasar bukannya pulang kerumah tetapi malah pergi kesungai dan berenang disana bersama teman-temanku hingga pulang dengan baju basah yang enggan ku pakai kembali, dengan mata merah dan rambut gimbal serta amis. Aku juga masih ingat bagaimana dia membentakku karena aku menghidupkan musik terlalu kuat padahal dia sedang bekerja. Ketika aku ambil lauk di piringnya dan aku bawa lari, sehingga dia harus berkali-kali kedapur untuk mengambil lauk yang telah aku lenyapkan tadi. Aku juga masih ingat bagaimana dia harus berkali-kali minta maaf kepada tetanggaku karena anak mereka yang bermain denganku selalu aku buat celaka. Kulup kepalanya harus ditambal karena aku lempar dengan batu, Indri yang matanya harus terluka karena tongkat “lele” ku mengenai matanya, Yogi yang menangis karena mainannya aku porak-porandakan, Yuli yang juga menangis karena bibirnya aku plintir hingga memerah karena telah mengejekku. Aku masih ingat semua kenakalan dan kecerobohanku bertahun-tahun yang lalu, yang sempat membuat jantungnya lemah. Aku tahu penyakit itu hampir saja merebut dia dari hidupku. Ketika dibelakang rumah aku mendengar ratapan, do’a dan tangisnya “Duh Gusti, sakit ini begitu luar biasa, aku tidak sanggup menahannya, tapi aku ingin tetap hidup untuk putriku satu-satunya dan untuk putraku satu-satunya”. Ketika itu aku hanya bisa menangis dibelakangnya dan aku berlari memeluknya dan berbisik “Bapak tidak apa-apa kan?”, dia hanya memelukku dan mengusap rambutku yang lumayan gimbal pada masa itu. Dan saat itu hanya tangis yang pilu yang menjawab pertanyaanku.
Sejak itu, aku tidak lagi mengumbar kebrutalanku, aku tidak lagi menjadi anak nakal dan bandel yang menyebabkan dia sakit. Aku menjadi anak rumahan yang setiap saat selalu ada ketika dia memanggilku dan membutuhkan bantuanku. Aku jarang bermain dengan teman-temanku lagi karena aku hanya ingin dia ada disampingku. Tapi semua tidak berlangsung lama, kelulusan ku dari sekolah dasar membuat pikirannya berubah dan aku sempat marah besar kepadanya. Dia memindahkanku sekolah di Sekolah Menengah Pertama yang sanagt jauh dari jangkauan orang tuaku. Aku sempat meminta kepada istrinya untuk tidak memindahkanku sejauh itu, aku merasa dibuang dan tidak dibutuhkan. Apa yang dia lakukan untukku? Dia hanya memelukku dan berusaha menenangkan pecahnya tangisku. “ Aku tidak mau pisah dari kalian…, jangan pindahkan aku sejauh itu, Bapak..”. Pandangan matanya pun kosong “Engkau akan lebih dewasa dan mandiri di sana, anakku. Bapak sangat menyayangimu.” Rontaan ku ternyata tidak ada gunanya, aku tetap dikirim ketempat yang bagiku amat mengerikan itu, jauh dari mereka berdua serta adik semata wayangku, sungguh serasa dunia tidak lagi menginginkanku.
Aku melihat mobil mereka semakin lenyap ditelan tikungan jalan yang sempit itu, tanganku meronta-ronta ingin mengejar mobil yang telah membawa pergi orang tua ku dan adikku. Namun semua sia-sia, tangan kekar Pakde ku jauh lebih berkuasa memegang lenganku yang saat itu hanya seukuran selang. Aku menangis tiada diam, sehingga menyebabkan tetangga baruku berhamburan menyaksikanku terpekur di tengah jalan dan didampingi Pakde dan Bude yang akan menjadi orang tua baru bagiku. Sia-sia, semua sia-sia aku tak berhasil membuat mobil itu kembali lagi, yang aku tahu, hari berikutnya aku tetap menangis dan menangis. Bude kalang kabut menenangkanku, dia mengajakku kepasar didekat kebun teh itu dan membelikan apapun yang aku mau, tapi semua sungguh sia-sia saja. Hari-hari berikutnya disekolah baruku, aku tidak mendapat satu temanpun, karena aku tidak menguasai bahasa yang digunakan oleh penduduk daerah ini “Bahasa Jawa” yang sangat sulit aku mengerti waktu itu. Sepulang sekolahpun aku hanya bisa terpekur di dalam gudang menikmati alunan tangisku sendiri berharap mereka, orangtuaku mendengarkanku, berubah pikiran dan menjemputku. Hari berganti hari semuanya tiada guna, bahkan aku rasa mobil yang mereka naikipun sudah menyeberang lautan sana. Dan meninggalkanku untuk beberapa tahun kemudian.
Entah setan apa yang merasuk kedalam pikiranku, lambat laun aku menikmati hidup dilingkungan baruku dan “mereka” orang tuaku agak terlupakan meski yang aku tahu uang tahunan selalu mampir kedompetku. Yang aku tahu, aku hanya membantu Pakde dan Bude ku di sawah, membereskan rumah, memelihara kambing, dan aktivitas lainnya yang lazim dilakukan kaum perempuan. Bahkan ketika adik semata wayangku khitanan pun aku sama sekali tidak tahu. Hampir tiga tahun lamanya, ketika aku terima surat terakhir dari dia, orang tuaku yang tertulis : “……….Nduk, rajin-rajinlah belajar sebentar lagi Ebtanas, jangan sampai tidak lulus ya. Nanti kalau lulus Bapak akan menjemputmu untuk pulang kerumah lagi. Dan kita bisa bersama lagi, kami semua disini merindukanmu”. Aku terlonjak girang bukan kepalang. Yang aku tahu waktu itu aku harus lulus Ebtanas dan aku harus pulang kerumah. Meski sedikit dilubuk hati ini merasa sedih, berarti aku harus meninggalkan teman-temanku juga meninggalkan “dia”, yah, dia yang sempat mengisi bagian dari perjalanan hidupku yang tak begitu menyenangkan. Meski sesak rasanya, tapi kepulanganku kerumah lebih aku harapkan ketimbang “dia”. Bayangkan selama tiga tahun saja aku bisa hidup tanpa orang tua ku apalagi tanpa dia. Aku menjadi orang yang sangat keras kepala. Bapak datang menjemputku, ketika itu aku berada disekolah dan harus menghadiri acara perpisahan sekolah menengah pertama waktu itu.
Tidak sia-sia keputusannya untuk “membuang” aku ke pulau Jawa ternyata membuahkan hasil. Pakde dan Bude ku selalu menceritakan tentang perubahanku yang semakin membaik. Saat menginjak kelas 3 SMP seperti ada sesuatu yang menyelinap dalam hingga kerelung-relung jiwa yang kering ini. Sesuatu yang saat itu aku tidak pernah perduli apa namanya. Aku memang bukan wanita yang sholehah, ilmu agama yang aku miliki mungkin lebih lebar kuku kelingkingku. Jangankan untuk memperdalam agama, sekedar ngaji saja aku tidak mau, padahal Masjid Al-Huda itu jaraknya cuma tiga dari rumah Pakde dan Bude ku.  Tapi lagi-lagi rasa itu yang sangat istimewa. Diam-diam aku comot Al-Qur’an milik Mbak Mimin anak Pakde ku yang sudah menikah dan tidak lagi tinggak disana. Al-Qur’an yang using dan tebalnya setara dua kilo ubi jalar itu aku buka dan aku elus-elus. Ada magnet yang menarikku kesana, menarikku untuk membacanya. Aku terpaku, “rasanya kok sulit ya” aku membatin. Aku teringat pertama kali aku masuk SMP, guru mata pelajaran Agama Islam menyuruhku kedepan dan menyuruh ku untuk membaca Al-Qur’an, awalnya aku ragu apa aku bisa, setelah ku lihat dan ku perhatikan aku mulai membacanya, “Oh, ternyata ayat 3 serangkai” aku nyengir didalam hati. Seingatku dulu waktu SD aku memang sempat mengaji dan bersekolah Madrasah, tapi hanya beberapa waktu saja karena aku sering membuat menangis teman-temanku, dan membuat guru ngaji dan guru Madrasah ku memarahiku. Sehingga aku berhenti karena tidak tahan dengan amarah orangtua ku.
Kulanjutkan dengan membaca Al-Qur’an yang usah tadi, sedikit terbata-bata. Lama-lama aku merasa nyaman dan damai. Aku pun teringat kedua orang tua ku dan adik semata wayangku. Aku menangis tapi tidak meraung seperti dulu. Orang tua ku pasti bangga dengan ku, apalagi setelah aku baca surat terakhirnya itu, mereka akan menjemputku. Tidak hanya itu, aku sukses meraih peringkat ke tujuh dari 300 lebih murid SMP saat ujian akhir. Aku minta kedatangan Bapak untuk menjemputku dipercepat, karena aku ingin Bapak yang maju kedepan ketika namaku disebutkan sebagai siswi yang masuk kedalam 10 besar. Saat maju kedepan, aku menangis dan membatin “Bapak, aku tahu aku memang nakal, suatu saat nanti aku akan mengganti semua kenakalanku kemarin”. Dengan bangga Bapak dengan membawa adikku. Aku tahu senyum bangga itu tak akan hilang dari wajahnya, terukir jelas yah jelas sampai saat ini. Saat sekarang aku telah menjauh lagi dari mereka orang-orang yang aku cintai.
Kisah dulu berbalik 180 derajat bedanya. Sekarang aku menjadi anak perempuan yang memang benar-benar disayangnya. Apapun yang aku mau, semua terpenuhi dengan segera. Saat aku bisa melanjutkan studiku ketingkat yang tak pernah aku impikan sebelumnya. Bapak, aku tahu pengorbanan mu. Engkau rela tidak bekerja saat mendadak aku telpon “Pak, bisa kirim surat ini, surat itu, foto copy ini, foto copy itu?” serobotku. “Iya bisa, nanti diusahakan 1 hari nyampe.” Semangat sekali dia. Saat aku sakit, aku tahu engkau meninggalkan semuanya demi menjagaku, entah berapa banyak piti yang harus dia keluarkan karena membiayai perawatan ku diRS karena sakit ku yang aku sendiri tak tahu sakit apa.
Dia mengirimkan semua yang aku minta, yang aku mau, yang aku inginkan. Kadang aku berfikir, bagaimana caranya aku bisa mengganti tetesan keringat yang kau keluarkan saat harus mengantarku membuat KTP, memperpanjang SIM, membeli baju, membeli ini-itu, mengantarkanku kesana-kemari, dengan apa?. Aku terpaku disaat mala mini. Sangat terpaku. Lirih rongga dada ku membatin, “I LOVE YOU, DAD”, sambil menutup laptop ku aku tersenyum untuk Bapakku.
Siti Kurniasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar