Cantik
itu musibah ...
Cantik
itu petaka ...
Cantik
itu celaka ...
Cantik
itu marabahaya ...
Itu
menurutku.
Iya,
katakan saja aku tidak bersyukur, katakan saja aku tidak berterima kasih atas
kecantikan yang telah Allah berikan kepadaku. Aku sangat bersyukur dan aku
sangat berterima kasih kepada Allah yang telah memberiku rupa yang sangat elok.
Rupa yang sangat didambakan wanita kebanyakan. Pipiku sebagai pauh dilayang
bila terkena sinar matahari semakin memerah dan terdapat lesung pipi dikeduanya
menambah manis rupaku. Warna kulitku putih berseri, rambutku hitam nan panjang
lurus menggantung. Pandangan mataku tenang dan lembut, hidungku mancung dan
berbibir halus serta diantaranya terlihat barisan gigiku yang putih, bersih dan
rapi. Daguku seperti lebah bergantung, pinggangku sangatlah ramping, kakiku
begitu jenjang, kokoh dan cara berjalanku gemulai namun pasti. Hal ini
berbanding lurus dengan kepintaran dan kecerdasan yang aku miliki, sehingga aku
bisa melanjutkan studiku di Program Studi Kimia di salah satu Universitas
favorit di kotaku. Teman-temanku banyak, karena aku tergolong manusia yang
ramah dan baik hatinya, itu kata mereka. Tak sedikit teman-teman ku yang
berjenis pria sangat mendambakan ingin dekat denganku. Namun, aku tetap tak
bergeming. Bukan aku sombong, bukan aku angkuh, bukan aku naif dan bukan aku
sok alim. Akan tetapi, aku ingin menjadi wanita yang paling istimewa di hadapan
Allah bukan karena rupaku, karena semenjak pertengahan kuliah dan berkenalan
dengan seorang akhwat aku mulai mengenakan jilbab, meski ku akui jilbabku tak
sepanjang akhwat-akhwat teman baikku itu, kata mereka “Berproseslah menjadi baik, Zakia”. Iya, Zakia namaku, Zakia Putri Kirana
nama panjangku yang telah Ibu berikan ketika aku lahir. Bukan main suka cita
Ayah dan Ibu ku memiliki anak yang cantik dan baik sepertiku. Banyak orang
berfikir cantikku juga seperti putri sesuai dengan namaku.
Namun,
seperti yang aku katakan tadi. Cantik itu musibah. Cantik itu petaka. Cantik
itu celaka. Cantik itu marabahaya, itu menurutku. Semua ini berawal dari
kisahku yang panjang dan berliku penuh onak dan duri, yang menyebabkan mengapa
aku meneruskan studiku di jurusan kimia.
Sejak
bayi, aku adalah bayi yang paling beruntung sedunia, itu menurutku. Semua orang
sangat menyayangi dan gemas melihat pipiku memerah dan imut. Tak jarang jika di
ajak Ayah jalan pagi di sekitar komplek rumahku, semua orang yang melihatku
akan datang untuk sekedar berkata “Subhanallah,
lucu sekali kamu Zakia”. Atau mencubit dengan gemas pipiku dan menciumi ku
sejadi-jadinya. Ayah Ibuku sangat menyayangi dan bangga kepadaku. Itu ketika
aku bayi.
Kemudian
ketika aku menginjak ke Sekolah Dasar dan Ayah meninggal karena terkena
serangan jantung. Itulah awal petaka yang sesungguhnya sehingga aku selalu
menyalahkan kecantikan yang aku miliki. Di Sekolah Dasar pun aku nyaris
diperkosa oleh teman-teman sebayaku sendiri saat pulang sekolah, beruntung
tetanggaku mendengarkan teriakanku dan sempat menolongku, jika tidak tak tahu
lagi jadinya aku. Bayangkan, anak-anak seusiaku waktu itu sudah sangat tertarik
dengan rupaku yang sedemikian.
Dua
tahun kemudian Ibu menikah lagi dengan seorang laki-laki berasal dari Timur
Indonesia. Sebenarnya aku sangat tidak setuju dengan keputusan Ibu, aku sangat
ingin Ibu setia kepada Ayah. Namun Ibu meyakinkan aku dengan sepenuh hati,
bahwa suatu saat nanti aku sangat membutuhkan seorang Ayah, dan berjanji bahwa
calon Ayah ku nanti akan sangat menyayangi ku dan menjagaku. Beberapa bulan
pernikahan mereka aku memang sangat disayangi oleh lelaki itu, dari awal
pernikahan memang aku tidak mau memanggilnya Ayah, bagiku Ayahku hanya satu.
Ibu berusaha membujukku untuk memanggilnya Ayah, namun sia-sia aku tetap tidak
mau, namun aku tetap hormat padanya. Dia bekerja di sebuah perusahaan swasta
sedangkan Ibu menjaga butiknya semenjak masih ada Ayah kandungku. Namun, rasa
sayang lelaki itu berubah menjadi nafsu yang menggila karena kecantikan rupaku.
Ketika Ibuku telah pergi kebutik, saat itu aku libur sekolah dan lelaki itu
sedang cuti kerja, disitulah petakan selanjutnya terjadi. lelaki itu memaksaku
untuk melayaninya sebagai mana seorang suami istri, dan memaksaku bungkam, jika
tidak maka dia tidak segan-segan mengancam akan membunuhku begitu saja. Atas
nama wanita, saat itu nyaliku sangat ciut. Sampai beberapa bulan aku hanya bisa
diam, dan menangis sendiri, bahkan aku sangat takut meski hanya bercerita
kepada Ibuku sendiri. Berbulan-bulan kejadian itu berlanjut, namun ada
pemberontakan yang terjadi dari dalam hatiku yang paling dalam. Suatu hari saat
Ayah tidak ada di rumah, aku berlari kebutik Ibuku dan aku ceritakan apa yang
terjadi selama ini kepada Ibu. Saat itu juga, betapa merah padam air muka Ibu
menanggung marah dan kecewa, betapa terlukanya Ibu telah dikhianati suaminya
sendiri, dan betapa tersayatnya hati Ibu saat tahu perbuatan suaminya itu
kepadaku, anak kandung, anak semata wayangnya ini.
Pada
hari itu juga Ibu melaporkan lelaki itu ke polisi, dan segera polisi
menangkapnya. Pada hari itu juga Ibu meminta cerai, dan lelaki itu
mengabulkannya. Di penjara 12 tahun itulah hukumannya. Kemudian Ibu memutuskan
untuk pindah ke Semarang, dan memindahkan butiknya juga tanpa diketahui oleh
mantan suaminya tersebut. Ibu ingin suasana baru dan menghilangkan keadaan buruk
yang sempat membuat aku tak mau masuk ke rumah ku yang lama. Ibu ingin membuat
aku tenang dan kembali merajut masa depan. Karena untungnya, aku tidak sampai
hamil kala itu. Itulah buah kecantikan yang aku miliki. Bagaimana tidak aku
berkata bahwa cantik itu adalah musibah.
Sejak
saat itu, Ibu berjanji tidak akan menikah lagi dan akan selalu menjagaku sampai
kapanpun dan setia kepada almarhum Ayah. “Zakia,
Ibu sangat menyesal sekali, maafkan Ibu ya nak, Ibu berjanji akan selalu
menjagamu, karena kamulah harta Ibu satu-satunya yang paling berharga yang
Allah pernah kasih ke Ibu” Tangis Ibu kala itu pecah dan memelukku
erat-erat. Waktu Ibu hanya dihabiskannya untuk bekerja dan bekerja demi aku.
Berusaha memulihkan kondisi kejiwaanku yang sempat guncang. Menuruti semua
keinginanku yang sempat hilang minat untuk melanjutkan kuliah atau bergaul
dengan teman-teman yang lain. Memang pada saat aku dan Ibuku pindah ke
Semarang, aku sudah lulus SMA. Sampai setahun kemudian, Ibu berhasil membujukku
untuk melanjutkan kuliah. Ibu sangat berlebih-lebih senangnya, aku mulai
kembali ceria lagi. Bagiku saat itu, Ibu adalah segalanya bagiku, tak mau aku
jauh-jauh dari Ibu. Sehabis pulang kuliahpun aku ingin segera pulang dan
bertemu Ibu. Ku lupakan rupaku yang cantik, dan bagiku wanita tercantik adalah
Ibuku.”Ya, Allah... aku sayang Ibu,
jagalah dia, lindungi dia aku sangat mencintainya”. Itulah pintaku. Namun,
bukan berarti petaka itu hilang jauh dariku, rupa cantikku ini ternyata
menyimpan celaka yang berpuluh-puluh jumlahnya.
Di
kampus, sudah pasti aku satu-satunya idola diantara sekian banyak wanita.
Memang banyak sekali yang cantik, namun semua masih di bawahku. Aku bagaikan
bintang kejora yang selalu bersinar-sinar baik siang maupun malam. Banyak
pria-pria memandangku penuh decak kagum, dan aku yakin bahkan ada yang berfikir
aneh-aneh tentang aku. Mereka berusaha mendekatiku, merayu, dan segala daya
upayanya untuk menarik perhatianku. Hari-harinya, meja tempatku duduk penuh
dengan bunga, surat, coklat dan lain-lain. Sebenarnya aku tidak merasa
istimewa, tapi aku dijadikan yang teristimewa.
Karena
tak mendapat respon sama sekali dari aku, sebagian pria-pria itu merasa kecewa
dan sakit hatinya. Dan malapetaka itu datang lagi, sewaktu aku hendak pulang
seperti biasa aku melewati jalan yang lumayan sepi. Di situlah mereka menculik
dan menahan aku di sebuah rumah yang tidak berpenghuni. Yang aku tahu waktu itu
ada sekitar empat orang menghalangi jalanku dan mulutku disekap kain berbau
hingga tak sadarkan diri. Setelah itu aku tidak tahu lagi apa yang terjadi
ketika sadar aku telah berada di sebuah ruangan yang serba putih dan ketika aku
buka mataku terlihatlah Ibu sedang menangis di sebelahku memegangi tanganku.
“Zakia ada di mana, Ibu?” Ibu sempat
terkejut aku tiba-tiba bertanya, seketika itu juga Ibu mengusap airmatanya. “Kamu sudah sadar Zakia? Kamu ada si rumah
sakit, sayang”. Suara Ibu terdengar parau, agaknya Ibu telah menagis
semalaman. “Apa yang terjadi?”
Tanyaku pada Ibu, aku memang belum stabil kepala ku masih sangat pusing dan
sakitnya tak terkira. Bukannya menjawab Ibu malah kembali menangis dan langsung
memelukku.
Tahulah
aku apa yang terjadi, ternyata keempat pemuda yang sempat aku lihat itu adalah
kakak senior di kampusku yang merasa sakit hati atas sikapku yang selalu diam
tidak menanggapi perkataannya. Mereka membawaku kerumah kosong dan di sanalah
kekesalan mereka dilampiaskan kepadaku, mereka telah menggilirku berkali-kali.
Meski aku dalam keadaan pingsan. Setelah puas mereka meninggalkanku, namun
ketika mereka keluar ada beberapa orang warga yang sempat memergoki mereka dan
ketika hal itu di anggap ganjil, maka pemuda itu ditangkap dan diserahkan
kepolisi. Dan aku, tubuhku yang sudah remuk redam ini di bawa oleh warga
kerumah sakit tempatku terbaring sekarang ini. “Ya Allah, aku sudah begitu kotor dan hancur. Tidak pantas rasanya aku
mengharap Engkau menjagaku lagi, tapi aku juga ingin mengakhiri petaka ini
secepatnya.”. Pintaku dalam tangis
siang dan malam.
Beberapa
hari aku dirawat di rumah sakit, ada beberapa teman menjengukku dan turut
berduka atas musibah yang aku alami. Tak terkecuali seorang Akhwat yang menjadi
teman baikku, rupanya hatinya sangat terluka melihat saudari seimannya telah
dianiaya. Akhwat itu bernama Anisa. Anisa selalu menjengukku kerumah, karena
setelah peristiwa itu aku nyaris tidak mau melanjutkan kuliahku yang pada waktu
itu telah berada di tingkat empat. Namun Anisa adalah sahabat yang sangat baik,
dia selalu berusaha menegar-negarkan hatiku yang hancur berkeping-keping supaya
utuh kembali. Dialah yang mengispirasiku untuk menutup auratku dan aku luluh
juga dengan rayuannya ketika dia mengajakku kembali kekampus lagi.
“Zakia, tidak baik berlama-lama dalam duka.
Sabarlah, ini cobaan dari Allah. Aku yakin sesungguhnya engkau adalah wanita
yang kuat dan tegar. Sebenarnya lukamu itu adalah lukaku juga, Zakia. Tapi
ingatlah bahwa Allah bersama orang-orang yang sabar. Mohon selalu perlindungan
kepada-Nya baik siang maupun malam”. Anisa menasehatiku dengan suaranya
yang lembut dan penuh kesejukkan, aku hanya bisa tersenyum getir kala itu. Namun
damai sekali berada di dekatnya. Diam-diam aku perhatikan cara dia memakai
jilbab, aku mulai tertarik.
“Nis, aku ingin memakai jilbab seperti kamu.
Meski ku tahu diri ini sangatlah kotor dan penuh dosa. Namun aku masih berharap
Allah mau mengampuni dosaku. Dan barangkali ketika aku menutut auratku, aku
bisa menyembunyikan rupaku dari para lelaki”. Kataku. Tiba-tiba berubah air
muka Anisa mendengar perkataanku, dipeluknya aku dan menangislah dia. “Benarkah itu, Zakia?” seolah-olah dia
tidak percaya atas perkataanku. “Demi
Allah Nis, aku ingin menjadi sepertimu meski tidak sesempurna kamu, minimal aku
ingin menjaga diriku sendiri.” Kataku kepada Zakia. Anisa langsung
memelukku, pelukkan persaudaraan yang sangat hangat, menentramkan jiwa dan
menenangkan hati. Sejak saat itu aku telah mengenakan jilbab meski tak
panjang-panjang dan kembali kekampus lagi.
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah
menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk
perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah
sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat”
(QS. Al-A’raaf : 26).
“Katakanlah
kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung
kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka,
atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau
putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau
putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka
memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah
kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.
(QS. An Nuur : 24).
Indah benar perintah Allah dalam dua surah Al-Qur’an
itu demi menjaga kehormatan manusia, yang telah Anisa jelaskan panjang lebar
kepadaku. Karena aku selalu ingin Anisa menjelaskan Al-Qur’an
sebanyak-banyaknya yang dulu tidak pernah aku dapatkan. Aku juga mulai ikut
kajian rutin yang diselenggarakan oleh organisasi keislaman di kampusku bersama
Anisa. Dan Anisa pula memperkenalkan aku pada teman-temannya yang sangat
ramah-ramah itu. Aku merasa nyaman di tengah-tengah mereka, sejenak masa lalu
hitamku hilang hari demi hari aku mulai ceria kembali. Indah persaudaraan ini,
selanjutnya yang aku tahu adalah inilah namanya ukhuwah islamiyah. Aku jadi merasa
sangat dihargai dan sangat disayangi berkumpul bersama mereka. Dengan menutup
auratku, aku sudah tidak lagi dihadapkan pada hal-hal yang menggangguku. Anisa
selalu ada disampingku. Karena Anisa termasuk wanita yang disegani karena
keteguhan hatinya, tidak ada yang berani lagi menggangguku. Sekarang baru aku
sadari bahwa aku memang istimewa.
Sejenak ku lupakan tentang parasku yang cantik ini,
kulupakan malapetaka, musibah dan celaka yang selama ini menimpaku. Dengan
didampingi Anisa hari-hari ku semakin indah, menambah daftar nama orang yang
aku sayangi setelah Ibu. Ibu juga terlihat bahagia kembali melihat aku seperti
dulu, tersenyum ceria, ibadah sholat wajib yang tak pernah lagi aku tinggalkan,
membaca Al-Qur’an dan ibadah-ibadah lain yang telah Anisa jelaskan kepadaku.
Beberapa bulan lamanya aku lupa akan peristiwa yang
telah menimpaku, sampai pada saat ini. Saat aku berada seorang diri di dalam
Laboratorium Kimia di kampusku. Kulirik jam di dinding pukul 14.00 tak ada
orang saat itu karena praktikum telah usai setengah jam yang lalu. Tinggal aku
berada sendiri di ruangan ini, sendiri namun ditemani sesobek kapas sisa
praktikum tadi dan sebotol cairan kimia berbahaya yang bisa membakar kulit jika
terkena cairan itu yang aku dapat dari lemari bertuliskan “AWAS ! CAIRAN BERBAHAYA”.
Cantik,
Aku sadari ini adalah karunia Allah. Aku bersyukur
atas-Nya. Meski sedikit sakit, aku tidak menyesali hal-hal buruk yang sudah aku
alami. Namun hati ini terlanjur membenci cantik rupaku, dan akan aku akhiri
tampilnya cantik wajahku kemuka publik. Aku ingin, bukan aku yang terlihat
cantik. Tapi aku yang buruk rupa. Bukan aku tidak bersyukur, tapi aku ingin
menjaga aku.
Cairan berbahaya yang ada ditanganku, kutuangkan ke
kapas yang kupegang ditangan kanan. Sedikit, demi sedikit ku usah kewajahku, ku
anggap saja aku sedang membersihkan wajahku, terus dan terus hingga ku rasa perih dan panas
teramat panas. Sakit teramat sakit, aku tidak perduli, hingga menjalar ke
seluruh tubuhku. Sampai tak kusadari sudah kutumpahkan semua cairan itu
mengenai wajahku. Terbakar, jelas sekali melepuh wajahku, aku tak perduli.
Sampai tak perdulinya aku hingga jatuh badanku kelantai.
Seingatku, ada langkah-langkah kaki yang panik
berlarian, suara ambulan, roda berputar, tangis yang pecah dan kemudian hening,
sepi, dan sunyi..........
Dramaga, September 2012