Beranda Cand

Senin, 01 April 2013

Sekarung Beras


Sudah dua kali bangun tidur, cuci muka atau mandi langsung ambil kunci motor dan melesat pergi. Kemarin, akibatnya adalah kehujanan hebat di perjalanan yang harus ditempuh selama kurang lebih satu jam, dengan kondisi hujan lebat dan petir saling bersahutan, tetap saja aku melenggang maju tanpa menghiraukan Mbak-ku menelfonku, menanyakan keadaanku tepatnya keberadaanku yang ketika sebelum pergi ia tak mengizinkanku pulang karena cuaca sangat gelap, namun tetap saja aku tidak mendengarkannya. Hari ini, entah sudah jadi kebiasaan, aku selalu bangun siang, inipun bukan tanpa alasan, aku tidak dibebankan dengan kewajiban lima waktu ku, oh.. jadinya aku bisa sesuka hati bangun siang gitu? Dan aku rasa tidak, aku punya pembelaan kalau aku lagi tidak enak badan padahal pagi ini aku punya janji mau jemput temanku di BS. Dan lagi-lagi aku tersentak bangun, temanku sudah sampai di BS dan aku baru bangun dan sudah dapat di tebak, aku belum mandi. Dengan mandi ala kecepatan cahaya, kemudian aku siapkan motor ku dan ku tancap gas menuju BS.

Selanjutnya setelah sampai di rumah, ingin ku pejamkan mata kembali. Ah,, rasanya tidak. Perutku melilit dan aku harus sarapan. Sengaja aku beli sebungkus bubur ayam di Bara untuk mengganjal perut ku yang mulai berdendang ria menyanyikan lagu Seulayang, ah.. mellow banget sih perut ku ini. Intinya, aku segera menyambar piring di dapur dan menuangkan bubur yang baru saja aku beli tadi. Pastinya dengan kondisi pakaian masih lengkap ala kondangan, aku tidak berniat membereskan badan terlebih dahulu sebelum makan. Langsung saja, dengan henpon ada di tangan kiri tentunya, ya karena aku punya agenda hari ini untuk menghubungi dua orang yang ada di Jambi, yang pasti saja tentunya aku akan merepotkan mereka berdua lagi dan kembali. Satu, dua, tiga suap bubur dengan awalan Basmallah sudah mulai bisa aku telan, tentunya dengan mulut masih saja menguap.

Kemudian inilah yang akan aku ceritakan. Ketika aku sarapan bubur di ruang makan kos ku, tiba-tiba ada Bibi yang biasa ngurusin kos (nyapu, ngepel, ngelap, dll) dan mencuci bajuku serta terkadang mencuci piring bekas makanku, ia kemudian menegurku. “Mbak Kur, yang lebih kecil dari leptop apa ya namanya?” Tanya bibi sambil tangannya cekatan membersihkan lantai di sebelah tempat duduk ku, itupun ia bertanya tanpa sedikitpun melirikku. “Notbuk ta Bi, kenapa Bi?” Jawab dan Tanya ku kemudian. “Berapa kira-kira harganya Mbak?” Tanya Bibi kemudian. “Macem-macem Bi, ada yang 1,5 sampai 5-an (Juta tentunya)” Jawabku, selanjutnya aku bertanya kembali “Kenapa Bi?”. Bibi tersenyum, lalu berceritalah dia. “Si Deri minta beliin mbak, katanya mau buat laporan tugas-tugas sekolahnya, Deri kepengen banget Mbak, padahal dulu-dulunya kakak-kakaknya pada nggak ada yang minta, Deri kepengen banget. Kalau di sekitaran kampus belinya gimana Mbak? Bibi mau jual beras sekarung, buat nambahin tabungannya Deri beli notbuk”. Aliran darahku tiba-tiba terasa berhenti seketika. Aku gelagapan menjawab pertanyaan Bibi. Dan tiba-tiba selera makan bubur ku lenyap ditelan pusaran air, hening, tertegun dengan perih aku mencoba menjawabnya “Emm, jangan di kampus Bi, lumayan beda harganya, suruh aja Deri ke Jambu Dua” Jawabku sekenanya. “O, iya ya Mbak, di Jambu Dua kan banyak ya, iya nanti Bibi suruh Deri kesana aja, makanya tadi Bibi Tanya Mbak Kur dulu, makasih ya Mbak”. “Iya Bi sama-sama”. Aku tersenyum agak getir memang, ditengah-tengah suapan bubur yang tak lagi enak rasanya untuk aku telan, sedangkan Bibi malah tambah semangat mengepel lantai yang memang sudah tugas nya tersebut mengurus kos ini dengan tersenyum bahagia.

Dan aku… ketika Bibi berlalu dengan pekerjaannya yang lain, aku mencoba sedikit-demi sedikit memasukkan sekitar 7 suapan bubur lagi, namun sudah tidak bisa aku lakukan. Perut yang tadinya lapar luar biasa, kini penuh tiba-tiba. Aku termenung lama sekali, tak beranjak dari ruang makan, rasanya kaki ku pun tak bersahabat dengan ku pagi ini, ia terasa berat untuk digerakkan. Pedih, perih memang kawan, pagi ini ulu hati ku rasanya ditusuk godam sebesar gelondongan kayu Bulian. Sakit, sesak, terhimpit sangat susah aku utarakan apa yang sedang aku rasakan, sampai nyaris meleleh air mata ini. Jelas saja tidak aku penuhi permintaan mata ku kali ini untuk mengeluarkan airnya, aku malu kalau tiba-tiba Bibi lewat di sebelahku. Kemudian aku hanya menyusun kekuatan untuk membersihkan bekas sarapanku pagi ini.

Bibi adalah pembantu rumah tangga di kos ku, yang tugasnya setiap pagi sudah dapat diketahui bersama, membuka jendela, mematikan atau menghidupkan lampu, menyapu, mengepel, ngelap sana-ngelap sini, nyuci baju penghuni kos (ya, yang ini sesuai kesepakatan memang, termasuk baju ku, dan inipun belum berlangsung lama, karena beberapa bulan yang lalu aku sempat dirawat di rumah sakit, Bapak tidak mengizinkanku nyuci sendiri, iya…). Penghasilannya per bulan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dengan mengandalkan tanaman padi di sawahnya tentunya. Aku tidak dapat menebak berapa, tapi aku bisa merasakannya. Demi memenuhi permintaan anak bungsunya yang masih SMK untuk di belikan notebook, Bibi rela akan menjual berasnya satu karung. #Glekk, tentu ini sangat irrasional menurutku. Bibi pernah bercerita kepadaku sebelumnya, kalau hasil panen sekarang menurun karena sawahnya sering di buat praktek oleh mahasiswa (Ya aku tahu, ini pasti ada imbal jasanya juga). Tapi demi anaknya, notebook yang diminta anaknya, Bibi akan menjualnya sekarung, ingat SEKARUNG BERAS. Mukaku memerah (bukan karena jatuh cinta atau terkena rayuan-rayuan sang PHP*B *Pemberi Harapan Palsu* Belaka seperti yang sering di alami orang-orang sekarang) tapi karena rasanya mukaku terkena tampar tanpa tangan. Pedih, perih, sakit. Aku pikirkan kembali apa yang sudah aku minta selama ini kepada kedua orang tuaku. Rasanya dulu-dulu aku tidak pernah perduli ada atau tidak, yang ku tahu apa yang aku minta ada. Meski aku tahu tanpa aku minta pun terkadang orang tuaku juga nawarin.

Tapi bagaimana kejadiannya jika ketika aku minta melanjutkan kuliah S2 ini tiba-tiba orang tuaku menjual beras sekarung juga. Ohh… tidak… sesak sekali rasanya (karena ini lebih dari sekarung, karena kalau dikarungi bakalan berkarung2 jumlahnya). Aku tidak akan sanggup membayangkannya kembali. Aku hanya sanggup menatap gambar Bapak, Mamak dan adik semata wayang, intan berlian, emas permata ku satu-satunya yang aku punya. Kembali aku mengingat ketika akhir penyusunan skripsi aku menulis halaman persembahan, berlinangan airmata, menggoreskan jasa-jasa Bapak, Mamak, adikku di atas kertas tersebut dengan kelunya. Aku sudah tidak dapat menghitung berapa ratus, juta, milyar, triliunkah hartanya, kasih sayangnya, doa-doanya yang mengalir disetiap ayunan langkahku ini. Aku tidak dapat menggantinya, tentu saja Allah, I can’t. “Bapak sama Mamak, donga’ke juga, mugo-mugo ndang ujian skripsi gen ndang wisuda, doa ne Bapak karo Mamak InsyaAllah ora putus nduk” Suara di seberang sana kala itu parau terdengar, mereka tahu aku sedang berhadapan dengan hal masalah yang membuat sesak dadaku kala itu. Sampai Bapak bilang “Sudah lulus nanti boleh langsung kuliah lagi, opo sing mbok pangarepi mugo-mugo di ridhoi Gusti Allah, nduk” Nyessss, Speechless, Ora iso ngomong opo-opo meneh, mak grek, mandeg. Total saja, kalau yang di keluarin orangtua selama ini ibarat beras, berapa ribu, juta, milyar, triliun karungkah? Tidak bisa dikalkulasikan. “Ya Allah, ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku, dan sayangailah keduanya sebagaimana keduanya menyayangiku waktu kecil” Amin.

Minggu, 02 Desember 2012

“Saat Aku Ingin Mengembalikan Maharmu” Saya adaptasi dari kisah nyata




Rasulullah SAW bersabda, "Bahwa ketika istri Tsabit bin Qais Al-Anshari r.a menyatakan tidak bisa melanjutkan rumah tangga dengannya karena tidak mencintainya, dan ia bersedia menyerahkan kembali kebun kepadanya yang dulu dijadikan sebagai mahar pernikahannya.
Beliau menyuruh Tsabit untuk menceraikannya, maka Tsabit pun melaksanakannya
."
(HR. AL-BUKHARI).

“Maksudku, bukan karena Hadist itu aku ingin mengembalikan mahar yang lima tahun yang lalu engkau berikan sebagai syarat syahnya ikatan suci kita di depan para saksi dan penghulu, di depan kedua orang tua kita, keluarga besar kita dan handai taulan yang datang pada saat pernikahan Barakah kita. InshaaAllah. Bukan itu, bukan itu maksudku”. Bathinku mulai berkecamuk dan tak menentu.

Aku kembali teringat sebuah film “Ketika Cinta Bertasbih I” tokoh Ana Althafunissa pernah bilang ke pada Abahnya saat malam-malam ia pulang sendirian dan tidak ditemani oleh sang suami. Abahnya pun telah mengira ada pertengkaran hebat diantara mereka berdua. “Kalian bercerai, nduk?” Tanya Abah. “Iya, Abah. Ana yang meminta cerai, suatu saat Abah akan tahu kenapa Ana yang meminta cerai, wanita mana yang dalam hidupnya mau menjadi janda, Bah. Ana rasa tidak ada”. Jawab Ana terisak menahan pilu. Ana meminta cerai kepada suaminya karena suaminya, Furqon, sudah tidak jujur kepadanya. Furqon menikahi Ana padahal Furqon mengindap penyakit HIV. Meskipun kenyataannya Furqon adalah korban fitnah.

Aku menghela nafas yang amat panjang dan sangat berat untuk ku tarik, aku katakan bukan itu juga alasannya kenapa aku ingin sekali mengembalikan mahar ini padamu. Aku sepakat dengan Ana, tidak akan ada wanita yang dalam hidupnya mau menjadi janda. Tidak ada, termasuk aku, aku sangat mencintai suamiku, aku sangat mennyayangi suamiku dan juga kedua anak-anakku karena Allah. Aku sangat menyayangi mereka. Tidak ada yang aku banggakan selain keluarga kecilku, Mas Fahmi suamiku, Riri anak pertamaku dan Faisal anak keduaku. Mereka adalah berlian yang harganya paling mahal sedunia, lebih mahal dari berlian “De Beers”, berlian “Novo”, atau berlian “Elizabeth Tailor”. Keluarga kecilku kuhargai lebih mahal dari apapun yang ada di dunia ini. Keluarga yang aku bina bersama Mas Faisal suami yang sholeh yang merupakan kriteria semua wanita. Beruntung dan sujud syukur aku bisa menjadi belahan jiwanya, saat itu.

Iya, saat itu. Lima tahun yang lalu. Di mana aku mengenal Mas Fahmi melalui Murobbiku lewat proses ta’aruf yang InshaAllah diberkaihi Allah. Proses yang sangat lancar, yang aku tahu aku adalah wanita biasa yang mencoba menjadi lebih baik yang mendapatkan seorang suami yang begitu sholeh seperti Mas Fahmi. Sungguh laki-laki yang sangat sempurna menerut pandangan mataku. Dan aku berjanji akan selalu setia melayani Mas Fahmi seumur hidupku karena mengabdi kepadanya merupakan ladang pahala bagiku. Aku selalu bersyukur.

Hingga lahirlah kedua mutiara kecilku, matahariku, bulanku, dan bintangku, Riri dan Faisal yang sudah melengkapi kebahagiaan keluargaku, yang semakin membuat aku beranggapan bahwa aku telah memiliki keluarga yang sakinah mawadah wa rahmah.
Sehari-hari mas Fahmi sangat perhatian dengan keluarganya, ia juga tipe lelaki yang sangat mencintai kedua orang tuanya juga kedua orang tuaku. Ia bekerja sebagai manager di sebuah perusahaan di kotaku. Bukan aku terlalu berbangga diri dengan keadaan suamiku itu, tapi itulah yang aku rasakan pada saat itu. Seorang lelaki yang banyak hafalan Al-Qur’annya, tidak pernah meninggalkan sholat berjamaah di masjid, tidak pernah meninggalkan Al-Ma’tsurat, saum sunnah, tahajjud, semua itu ia bingkai dalam pribadi yang taat kepada Allah. Bagaimana tidak aku merasa menjadi orang yang paling beruntung di dunia ini, bagaimana tidak?.

Ia sangat menyayangiku, setiap hari ada saja kejutan yang ia siapkan untukku. Baik di rumah maupun di luar rumah. Di tengah-tengah kesibukkannya sebagai manager ia masih sangat memperhatikan hal-hal terkecil di dalam rumah, tak terkecuali ia juga sering membantuku memcuci piring, menyapu rumah, mencuci pakaian anak-anak dan mengatur tanaman di halaman rumah kami. Betapa tidak, betapa tidak aku sangat bahagia. Sehingga aku pikir, tidak akan ada masalah di dalam rumah tangga kami.

Ketika aku marah, Mas Fahmi selalu bisa meluluhkan aku. Ia sangat menguasai bagaimana caranya menyenangkan hatiku. Ah..... dunia ini terlalu indah untuk aku ceritakan saat bersama mas Fahmi dan anak-anakku.

Sampai saat dimana aku sangat ingin mengembalikan mahar dari mas Fahmi.

Pagi itu mas Fahmi sedang membuka Jejaring sosial, ketika jam untuk beres-beres mandi dan sarapan sebelum berangkat ke kantor. Mas Fahmi tidak meng-logout-nya. Aku yang dari pagi sudah sibuk mempersiapkan segala keperluannya dan memandikan anak-anak, lalu masuk ke kamar untuk memanggil mas Fahmi sarapan bareng. Entah mengapa bola mataku tersedot ke layar monitor laptop mas Fahmi, yang biasanya aku tidak pernah berani membuka-buka area pribadinya kecuali Mas Fahmi yang telah mengizinkannya.

Namun, mataku semakin kuat saat kulihat dengan jarak yang semakin dekat kearah layar laptop itu sebuah akun bernama “Sarahlia Rahmi Fahmi”. “Degg” jantungku berdetak, berdenyut keras. Tanganku mulai menggapai mouse-nya. Dan hatiku mulai berkecamuk, antara jangan dibuka atau membukanya, setan begitu bergelut di dalam lubuk hatiku. Namun aku kalah, tanganku tetap meraih mouse untuk membuka akun itu lebih jauh. Ku arahkan pointer pada nama “Sarahlia Rahmi Fahmi”, pada wall-nya tak ku temukan hal yang aneh, hanya beberapa status yang di tulisnya kemudian di “like” oleh mas Fahmi. Oh, di setiap statusnya mengapa mas Fahmi selalu me “like”-nya? Aku semakin bingung saat nama akun tersebut memakai nama belakang Mas Fahmi. Kemudian jari-jari ku tak kuasa mengarahkan pointer ke “Message”. Dan ...

Ingin aku menjerit dan memekik sekuat tenaga, namun rasanya tenaga ini sudah tak ada lagi. Aku lunglai jatuh kelantai, tersimpuh rapi menahan air mata yang berderai-derai. Sungguh, saat itu hanya aku dan Allah sajalah yang tahu apa yang ada dalam hatiku. Tangisan sikecil Faisal tak mampu membangkitkan kakiku, hingga ku dengar dari kamar mandi Mas Fahmi memanggilku “Sayang di mana? Faisal nangis gitu, tinggalin dulu dong aktivitasnya, kasihan Faisal” teriaknya. Aku hanya mampu mengusap air mata dan segera bangkit menyambar Faisal yang menjerit menangis serta Riri yang sibuk merengek minta di buatkan bubur. Dengan air mata yang masih berlinang-linang, aku susui Faisal dengan sayangnya, dan sambil membuatkan bubur untuk Riri. Aku tahu Mas Fahri telah keluar dari kamar mandi, namun senyap, ia tak terdengar memanggilku untuk menyiapkan dasinya, yang aku tahu dasinya masih di ruang setrikaan. Sepi, sunyi dan senyap. Dan beberapa menit kemudian.

Mas Fahmi berjalan dengan sangat pelannya ke arahku, ia tak berani menatapku yang saat itu masih tetap mengelus-elus Faisal untuk menenangkan tangisnya, karena meskipun telah ku susui ia tetap saja menangis, meski Riri sudah asyik sarapan bubur sambil menikmati acara TV kesukaannya. Aku diam, Mas Fahmi pun diam. Pada pagi itu suasana begitu seperti di kutub utara, rasanya berada pada suhu di bawah 00C. Kemudian ia duduk di depan ku dengan wajah yang masih saja tertunduk.

Mas, boleh mas antarkan saya pulang ke Batanghari?” Suaraku parau dan ditegar-tegarkan mencoba membuka suara meski dengan pertanyaan yang begitu menusuk. Aku melihat Mas Fahmi pucat dan meneteskan airmata. “Maafkan Mas, Sayang” Katanya kemudian. “Tidak apa-apa Mas, Mahar dari Mas belum saya gunakan untuk suatu apapun kok, masih bisa saya kembalikan ke Mas” Kataku kemudian. “Maafkan Mas, Sayang” Berkali-kali Mas Fahmi mengucapkan kalimat itu dan pada akhirnya langsung meraih tanganku dan hendak memelukku, berusaha untuk menjelaskan sesuatu, namun aku segera menepisnya, di tengah tangisan Faisal yang sangat memilukan seumpama Faisal tahu apa yang sedang dirasakan Ummi nya.

Dua minggu kemudian ...

Aku sudah resmi tanpa Mas Fahmi. Meski ia memilihku namun rasa sakit dihati ini tak mampu untuk menerimanya kembali. Berhari-hari airmataku tak berhenti mengalir, tidak ada wanita di dunia ini yang mau menjadi janda, tidak ada, termasuk aku, namun aku harus menjadi janda dengan dua anak yang masih sangat kecil ini.

Setahun yang lalu, melalui jejaring sosial mas Fahmi berkenalan dengan Sarah, yang sudah kuketahui pemilik akun “Sarahlia Rahmi Fahmi”. Karena seringnya berinteraksi, akhirnya tumbuh benih-benih cinta di antara mereka berdua, dan sudah saling bertemu berdua. Interaksi melalui message jejaring sosial itu mereka pun berjanji akan hidup bersama, dan berencana meminta izin menikah lagi kepadaku. Setahun lalu, ternyata mas Fahmi telah menduakan aku, padahal yang aku ketahui selama ini aku sangat mencintainya dan kuketahui ia juga mencintaiku. Bukan hanya itu, Mas Fahmi yang Sholat berjamaahnya tak pernah tertinggal dan Al-Ma’tsuratnya tak pernah tertinggalpun bisa seperti itu. Betapa tidak, aku tak mampu menerimanya kembali, lebih baik aku sendiri Ya Allah. Tangisku berderai-derai.

Kembali ku ingat saat aku masih menjadi aktivis kampus dahulu, betapa banyak aktivis-aktivis yang berguguran saat terlalu banyak berinteraksi dengan lawan jenis melalui media. Sehingga mereka lebih memilih meninggalkan jalan indah ini. Sampai saat itu aku berkata pada seorang akhwat teman satu halaqohku “Aku maunya besok nikah sama Ikhwan yang nggak punya jejaring sosial, pokoknya” saking runyamnya suasana hatiku dan hati teman-temanku pada waktu itu. Namun, inilah yang terjadi padaku, yang harus aku alami.

Sejatinya, aku hanya ingin seperti Ibunda Khadijah r.a yang selama hidupnya tidak pernah di madu oleh Rasulullah SAW. Meski akupun menyadari aku tak sesempurna Ibunda Khadijah, tapi cita-citaku hanya ingin mencapai Mahabah dari Allah melalui pengabdianku kepada suamiku.

Namun Allah Maha menguatkan hati-hati yang rapuh ini.

Dramaga, November 2012.



Sang Murobbi



Ribuan langkah kau tapaki
Plosok negeri kau sambangi
Tanpa kenal lelah jemu
Sampaikan firman Tuhanmu
Terik matahari tak surutkan langkahmu
Deru hujan badai tak lunturkan azammu
Raga kan terluka tak jerikan nyalimu
Fatamorgana dunia tak silaukan pandangmu
Semua makhluk bertasbih
Panjatkan ampun bagimu
Semua mahkluk berdo’a
Limpahkan rahmat atasmu

Tersebutlah, seorang Murobbi yang pada suatu hari akan mengisi halaqah di sebuah masjid besar di kotanya dengan estimasi ada 7 orang “tentara Allah” yang akan dibinanya nanti. Anggap saja namanya Akh Fajar, sore itu menjelang magrib Akh Fajar telah menyiapkan diri sebaik mungkin sebelum berangkat membina. Akh Fajar telah merapikan pakaiannya meski sederhana namun terlihat rapi dan bersih, ditambah sedikit minyak wangi yang menambah segar penampilannya sore itu. Kebetulan Akh Fajar masih menyandang status sebagai mahasiswa tingkat akhir di sebuah Universitas Swasta di kotanya, kini Akh Fajar yang akan berkonsentrasi pada tugas akhirnya yaitu skripsi yang InshaAllah masih dalam proses tahap akhir menjelang sidang. Akh Fajar terkenal sederhana, bijaksana dan tegas. Semua itu terlihat dari cara Akh Fajar berbicara dan berpenampilan. Ia berasal dari daerah, sehingga ketika kuliah ini ia menjadi anak kos-kos-an seperti yang lainnya.

Dengan penampilan yang telah disiapkan dengan matang, tak lupa semalaman Akh Fajar telah mempelajari ulang materi yang akan disampaikan kepada “tentara Allah” ba’da sholat magrib nanti. Kemudian ia menyiapkan beberapa bungkus makanan yang sengaja ia beli tadi siang sebagai amunisi halaqah malam ini, (Logika Tanpa Logistik Adalah Anarkis), oh, tidak, bukan itu maksudnya. Akh Fajar hanya ingin membuat suasana yang berbeda malam itu, Akh Fajar ingin sedikit berbagi dengan Mutarobbinya, di sela-sela halaqah nanti. Begitu semangatnya Akh Fajar melangkahkan kaki ke Masjid Nurul Huda di samping Kampusnya, langkahnya agak di percepat, karena ingin sholat magrib berjamaah di Masjid tersebut sembari menunggu “tentara –tentara Allah” itu datang dan menyejukkan pandangan matanya pula. Kemudian, setelah melakukan sholat berjamah kemudian dilanjutkan dengan sholat sunnah rawatib dua rakaat Akh Fajar membuka Al-Qur’annya, berharap mendapatkan beberapa lembar lagi bacaan pada hari ini sambil menunggu kedatangan Mutarobbinya, yang ternyata sampai saat itu belum satupun dari ketujuh Mutarobbinya yang datang. Akh Fajar melongok jam di Handphone nya, “Ah, masih pukul 18.20 akan saya tunggu dengan membaca Al-Qur’an saja” Pikir Akh Fajar ketika itu. Sebelum melanjutkan bacaanya, datanglah Akh Aris menyapanya, kebetulan Akh Aris juga akan mengisi halaqah di sudut masjid Nurul Huda yang lain. Setelah bertegur sapa dan sedikit berbincang-bincang. Akh Aris undur diri karena binaan Akh Aris telah datang, maka Akh Aris berjalan menuju sudut masjid agak menjauh dari sudut masjid tempat Akh Fajar berada saat ini.

Seakur tiga halaman Akh Fajar telah membaca Al-Qur’annya, dan waktu telah menunjukkan pukul 19.15, namun tak satupun “tentara Allah” yang ditunggu-tunggu Akh Fajar menampakan batang hidunya. Namun, bukan Akh Fajar kalau tidak bersabar, Akh Fajar tetap melanjutkan tilawahnya, namun tiba-tiba handphone-nya bergetar tanda ada pesan singkat masuk, ada dua pesan singkat dari “tentara Allah” itu, yang mengabarkan bahwa dua di antara tujuh dari mereka tidak bisa datang karena ada banyak tugas yang menumpuk. Makhlum kesemuannya adalah mahasiswa yang notabenenya memang selalu dirundung tugas dan tugas. Namun Akh Fajar masih tetap bersabar, karena Akh Fajar masih punya harapan lima orang lagi akan datang halaqah.

Tapi, apa mau dikata, nasi yang lama tak dimakan akhirnya basi, daun yang lama menggantung di pohon akhirnya jatuh juga. Jarum jam telah bergerak menunjukkan pukul 21.05 namun tak ada satupun yang datang. Baik orangnya maupun pesannya. Ini tandanya mereka memang tidak akan ada yang datang satupun. Meski tampak raut sedih di wajahnya, namun bukan Akh Fajar kalau ia bertekuk muka, ia tampak masih sumringah sambil berjalan mendekati Akh Aris yang masih mengisi halaqah dengan keenam binaannya seraya berbisik mendekati Akh Aris. “Akh, Alhamdulillah ini ada rezeki sedikit untuk halaqah antum, mudah-mudahan bisa menambah semangat ya, afwan. Binaan ana tidak ada yang datang Akh” bisik Akh Fajar pelan ke telinga Akh Aris. “Alhamdulillah, jazakillah akhi, antum yang sabar ya” Balas Akh Aris kemudian sambil merangkul pundak Akh Fajar. Akh Aris tahu apa yang tengah dirasakan Akh Fajar ketika itu. Dan Akh Aris hanya bisa melihat Akh Fajar berjalan meninggalkan halaqahnya dan kemudian meninggalkan masjid Nurul Huda itu menuju kos-kosan-nya. Akh Fajar hanya ingin berita para mutarobbinya, katakan saja mereka tidak bisa datang, namun Akh Fajar menunggu meski hanya “afwan” yang datang.
Oh.....

Sungguh cerita tersebut membuat aku sadar akan pentingnya hak dan kewajiban Murobbi maupun Mutarobbi. Aku perlu melongok lagi dan memahami betul-betul hak Murobbi, terutama. Bagaimana mungkin aku dengan gampangnya tidak memberikan kabar kepada Murobbi  saat aku tidak bisa datang halaqah, dan terkadang hingga aku menghilang tanpa jejak, bahkan bahasa kasarnya sampai tidak bisa di-endus lagi keberadaan aku di mana oleh binatang pelacak.

Mungkin sebabnya beraneka ragam, aku yang merasa Murobbiku terlalu protektif, terlalu perfectsionis, terlalu banyak wajibat, hafalan, terlalu menggiring ku ke line ini, terlalu monoton, membosankan, dan beraneka ragam alasan lainnya. Tapi ketahuilah diri bahwa, dengan seorang Murobbi meluangkan waktu satu kali dalam seminggu untuk bertatap muka denganku dan menyampaikan ilmu yang InshaaAllah bermanfaat untuk ku, malah aku banyak berkelit. Kalau di telisik ulang, sebenarnya aku tidak memiliki hubungan darah apapun dengan Murobbi, namun begitu ia meluangkan waktu satu kali dalam satu minggu diantara kesibukan Murobbi yang dasyat, mungkin aku akan sadar bahwa Murobbi menyayangi aku dengan sangat.

Murobbi, telah meluangkan waktunya untuk mentransfer ilmu kepada ku, menyediakan telingannya untuk mendengar keluh kesah aku, meminjamkan uang ketika kiriman dari orang tua ku tak kunjung datang. Dan aku selalu merengek-rengek meminta dipertemukan dengan seseorang pendamping hidup yang sholeh/sholehah melalui Murobbi, agar jalannya baik dan prosesnya baik. Ini, ini, dan itu. Dengan semua ini, apakah pantas aku bersikap tidak menghargai seorang Murobbi ...

“Hak didengar dan Hak dihargai”, itu saja.

Sesungguhnya ...
Tarbiyah bukanlah segala-galanya, tapi segala-galanya butuh tarbiyah. Sarana tarbiyah mungkin sangat banyak dan tidak hanya halaqah saja. Namun dengan halaqah lah, hati-hati ini akan menyatu dalam persaudaraan islam.

Sesungguhnya Engkau tahu
Bahwa hati ini tlah berpadu
Berhimpun dalam naungan cinta-Mu
Bertemu dalam ketaatan
Bersatu dalam perjuangan
Menegakkan syari’at dalam kehidupan

Kuatkanlah ikatannya
Kekalkanlah cintanya
Tunjukilah jalan-jalannya
Terangilah dengan cahya-Mu
Yang tiada pernah padam
Ya Rabbi bimbinglah kami

Lapangkanlah dada kami
Dengan karunia iman
Dan indahnya tawakal pada-Mu
Hidupkan dengan ma’rifat
Matikan dalam syahid di jalan-Mu
Engkaulah Pelindung dan Pembela


Dramaga, Desember 2012

Jumat, 09 November 2012

Minggu “Kematian”



Berawal dari hari Ahad 04 November 2012 hingga hari ini merupakan hari yang tidak biasa, terutama bagi saya. Hari Ahad di perjalanan malam pulang dari Jalan Baru, di dalam mobil yang saya kendarai beserta keluarga biasanya selalu menghidupkan radio. Entah frekuensi berapa, yang saya dengar adalah berita kecelakaan bus maut di Baturaden yang menewaskan 6 orang yang diantaranya adalah mahasiswi Kedokteran Universitas Diponegoro, bernama Novilia Lutfiatul. Seketika tangan ini berhenti mengetik huruf-huruf yang ada di layar Handphone yang pada waktu itu saya ingin membalas pesan dari seorang teman. Berhenti, memandang nanar, mendengar pilu, sedetik kemudian air mata meleleh “Innalillahi wa innailaihi roji’un”. Benar-benar beku sekujur tubuh ini, nyaris tak bergeming jika Mas Yudi yang menyetir mobil pada waktu itu tidak memanggil saya. “Wes turu tho, Siti?” Tanya Mas Yudi. “Belum kok Mas” sambil mencoba untuk tetap tenang, meski hati bergemuruh dan pipi membasah.
Hari berikutnya yang saya tahu adalah fakta. 01 November 2012, sebelum malaikat Izrail mencabut nyawa Novi, ia sempat menulis di blognya berjudul “Dosen Tak Bernyawa”. Novi adalah Mahasiswi Kedokteran, sudah barang tentu alat praktikumnya setiap hari adalah mayat-mayat yang sering kita sebut dengan “Mr. X” itu menjadi bahan percobaannya setiap hari. Novi dan teman-temannya sudah menganggap mayat –mayat itu adalah “Dosen” bagi mereka, untuk menggali ilmu-ilmu Allah yang tiada tara. Sungguh itu adalah postingan terakhir Novi. Ketika saya membaca blognya ( novilialutfiatul.wordpress.com ) mata saya nanar hati saya ter-nyuh. Terdiam di depan monitor laptop tak bersuara.
Allah sudah mengatur jalan hidup manusia, rinci setiap menitnya dan Allah Maha penentu segalanya. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi satu menit kemudian, satu jam kemudian, satu hari kemudian dan kemudian. Rezeki, jodoh dan maut adalah rahasia Allah yang tidak bisa ditembus oleh manusia. Dalam Al-Qur’an Surah Al-Waqi’ah : 60, Allah berfirman “Kami telah menentukan kematian di antara kamu dan Kami sekali-sekali tidak akan dapat dikalahkan”. Allah dengan tegas mengatakan bahwa Ia-lah penentu sampai kapan manusia hidup dan kapan manusia akan menghadap-Nya kembali. Allah tidak memandang muda, tampan, cantik, kaya, miskin, dokter, master, artis, petani atau yang lainnya, jika sudah tiba ajal manusia, Allah akan tepati janji-Nya.
Menginjak hari Rabu, sebelum Ujian Tengah Semester Analisis Statistika jam 08.00, saya memang sengaja melangkahkan kaki menuju Aula Al-Hurriyah. Mengikuti kajian Rabuan setiap jam 07.00 hingga jam 08.00 WIB adalah suatu kewajiban bagi saya untuk mengisi celah-celah kosong rukhiyah ini, sangat hampa rasanya jika selama di IPB yang saya cari hanyalah ilmu-ilmu komunikasi, bagi saya, saya butuh asupan gizi bagi hati saya. Tak pelak, saat saya menuju ke ruang kelas ternyata teman-teman sudah memenuhi rungan artinya siap untuk ujian, dan artinya lagi saya terlambat, namun saya tidak pernah merasa rugi. Kajian saat itu diisi oleh Ustad Ahmad yang bertemakan “Memahami Perangkat-Perangkat Syaitan dan Memeranginya”. Diakhir tausyahnya, ustad Ahmad menyinggung tentang “kematian”. Bahwasanya manusia meninggal itu bukan karena kecelakaan mobil, serangan jantung, hepatitis, kanker, tumor, kebakaran atau tertembak. Namun manusia meninggal adalah karena ajalnya yang memang sudah datang, sudah Allah tentukan dan sudah Allah gariskan. Kejadian-kejadian itu hanya jalan atau perantara untuk menghantarkan manusia kepada ajalnya. Dalam menjelang kematian, manusia pun tidak lepas dari bayang-bayang syaitan. Begitu berlomba-lombanya syaitan mendampingi manusia yang sakaratul maut, bisikan syaitan hanya satu tujuannya, agar manusia tidak menyebut nama Allah saat dicabut nyawanya, hingga nanti manusia akan menjadi teman syaitan di neraka Allah. Na’uzhubillahiminzhalik.
Saya jadi mengingat sirah Muhammad SAW. Yang saat saya membacanya berderai-derailah airmata ini, menahan haru, sedih dan merasa bersalahnya diri ini yang belum menjadi umat yang terbaik. Saat Rasulullah sakaratul maut, betapa beliau sangat merasa sakit yang luar biasa hingga Malaikat Jibril pun memalingkan wajahnya, karena tidak tega melihat Rasulullah, kekasih Allah dicabut nyawanya, sedang beliau berkata “Ya Allah, jika nanti umatku juga merasakan sakitnya sakaratul maut seperti ini, timpakan semua rasa sakit itu kepadaku, karena niscaya umatku tidak akan mampu menanggungnya”. Pilu sekali hati ini, seorang yang mulia dalam sakaratul mautnya masih menyebut kita “Ummati, ummati, ummati”. Betapa cinta Rasulullah kepada kita sangat dalam dan tulus. Lalu kita sekarang, apa yang sudah kita lakukan semasa hidup kita, bahkan kitapun jarang mengingat akan mati. Bukankah Rasulullah menyuruh kita berta’ziah dengan tujuan bukan untuk mengalap berkah dari yang sudah tiada namun agar supaya manusia mengingat akan kematian.
Ya Allah, mudahkanlah sakaratul mautku. Tetapkanlah nikmat iman dan islam di hatiku, agar hari-hariku selalu menyebut anggungnya Asma-Mu, lezatnya bercakap-cakap dengan-Mu, syahdunya berdua-dua dengan-Mu. Agar nanti ku bisa melihat wajah-Mu”.
Berlanjut ke hari Kamis, saat saya membuka Yahoo.com, pada bagian beranda terdapat berita mengenai tempat bersejarah nan kelam di Kamboja. Tempat itu di beri nama Tsao Stel, yaitu bangunan tua pada zaman pemerintahan partai komunis di Kamboja yang dipimpin oleh Pol Pot, seorang yang sangat keji membantai habis lebih dari 2,1 persen penduduk Kamboja yang dibunuh secara sadis dan membabi buta. Tidak memandang tua, muda, laki-laki, perempuan, anak-anak dan bahkan balita. Semua dibunuh dengan menggunakan berbagai macam benda tanjam dan keras. Karena Pol Pot ingin menegakkan rezim petani bagi seluruh rakyat Kamboja, ia membenci guru, dosen, artis dan lainnya. Dan menganggap bahwa petani bisa memenuhi semua kebutuhannya sendiri.
Ketika saya membacanya, saya penasaran dengan siapa sebenarnya Pol Pot ini, tak khayal, saya beranjak ke Google untuk membuka informasi lebih lanjut. Namun, apa yang saya temukan. Sejarah kamboja memang begitu pedih, saat ini di tsao stel dijadikan kuburan masal, dengan puluhan ribu tulang-tulang manusia yang setiap saat bisa saja menyembul kepermukaan tanah jika hujan datang. Yang pada akhirnya tulang-tulang yang menyembul kepermukaan tanah itu di kumpulkan oleh petugas setempat. Astagfirullahal ‘adzim. Pol Pot adalah pemimpin partai komunis yang sangat keji. Membunuh 2,1 persen rakyat kamboja dengan tidak beradap dan berprikemanusiaan.
Yang saya bayangkan ketika itu adalah, manusia pada saat sakaratul maut sudah menanggung sakit yang luar biasa, bagaimana mungkin rakyat kamboja pun sebelum mati harus disiksa dengan keji. Ada yang digantung, direndam di air, dihantamkan ke pohon, dilibas dengan parang, kapak, ditusuk dengan pisau dipukul dengan linggis. MasyaAllah. Begitulah perantara manusia untuk mencapaikan kepada ajalnya dengan cara yang berbeda-beda. Bisa saja saya dengan perantara yang berbeda dengan Ibu saya, Bapak saya, adik saya dan teman-teman saya untuk tiba pada ajal masing-masing. Ini mengingatkan bahwa kematian mengintip kita setiap waktu dan setiap saat. Ustad Ahmad pernah berkata bahwa “Kematian itu mengikuti kita dari arah yang tidak kita sangka-sangka, ketika tertidurpun sebenarnya kita sudah belajar mati”. Semoga kita termasuk orang-orang yang senantiasa mengingat kematian.
Kemudian hari Jum’at ini, ketika saya pergi ke Halaqoh pekanan di kampus. Saya melangkahkan kaki dengan agak gontai, banyak faktor yang menyebabkan lemahnya fisik ini. Namun sejatinya Allah tidak pernah menyuruh manusia untuk bermalas-malasan ketika sedang tidak enak badan, yakinlah bahwa dengan tetap bersemangat maka rasa sakit akan hilang, InsyaAllah. Meski lemah saya paksakan untuk mengikuti majelis syurga InsyaAllah di lantai lima. Ketika mendongakkan kepala ke atas saja rasanya sudah ingin terduduk seketika. Namun hati tidak begitu saja tunduk pada rayuan syaitan untuk mengajak saya menjauh dari majelis itu. Ternyata saya menang. Allah masih menolong saya. Saya berhasil menaiki gedung lantai lima dengan kondisi sangat lemah. Dan Allah pun membayar dengan nikmatnya mengingat “Kematian”.
Teman saya yang sangat luar biasa itu menutup agenda halaqoh dengan tausyaih luar biasa. Pesan dari Imam Al-Ghozali kepada muridnya yaitu “Yang paling DEKAT itu KEMATIAN, yang JAUH itu MASALALU, yang BESAR itu NAFSU, yang BERAT itu AMANAH, yang MUDAH itu MENINGGALKAN SHOLAT dan yang TAJAM itu LISAN”. Kematian di ucapkan Imam Al-Ghazali pada bagian awal karena kematian memang yang paling dan sangat dekat dengan manusia. Kematian selalu mengintip manusia dari celah bagian manapun. Mengekor layaknya tulang ekor manusia. Dan setiap saat bisa menjadi bom waktu yang siap meledak melenyapkan  nyawa manusia. Kematian menguntit manusia dari sisi kanan, kiri, depan, belakang, atas maupun bawah. Kematian adalah yang paling dekat dan paling cepat. Seketika semangat badan bercuah kembali. Mengingat mati bukan suatu ketakutan lagi layaknya manusia pada umumnya. Mengingat mati adalah jalan agar diri yang hina ini semakin dekat dengan Rabbul Izzati, mengingat mati menjadikan jiwa tenang, jauh dari glamournya kehidupan “zaman Purba” seperti sekarang ini. Mengingat mati adalah menenangkan karena minggu ini adalah minggu kematian”.

Dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu selama-lamanya, karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri), dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang aniaya” (QS. Al-Baqarah : 95)

Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan” (QS. AL-Munafiqqun: 11)

Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu” (QS. Al-Haaqqah : 27)

Hingga datang kepada kami kematian” (QS. Al-Muddatstsir : 47)

Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)." Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah." Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS. An-Nisaa’ : 79)

Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah segala amalannya, kecuali dari tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang mendoakannya”. (HR. Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i)

_Waallahualam bii shawab_
November
                                                                                                                

Selasa, 09 Oktober 2012

IPB dan Polri

Beberapa hari yang lalu, sesudah keluar dari kuliah, aku segera menuju perpustakaan IPB atau biasa yang disebut LSI. Dengan terburu-buru aku segera menuju ruang penitipan tas, meletakkan tas ransel ku yang lumayan berat. 



Tujuan ku ke LSI adalah untuk mengembalikan buku yang ternyata sudah hampir satu minggu tidak aku kembalikan. Bukan aku sengaja untuk mengulur waktu untuk mengembalikannya, namun buku yang ku pinjam ternyata di bawa pulang oleh teman sekelasku dan terjadilah peminjaman yang over-limited...

Aku ambil buku yang telah ku niatkan untuk aku kembalikan, meski hanya satu rasanya beban sekali ketika tidak segera aku kembalikan. Bukan karena terbebani karena dendanya, namun seorang mahasiswa saharusnya harus bisa memenejemen diri sendiri, dari hal-hal yang terkecil hingga yang terbesar. Buku yang akan aku kembalikan itu berjudul "Komunikasi Organisasi' Karangan Dr. Arni Muhammad yang tebalnya sekitar 228 halaman dengan cover warna kebiruan itu. Memang tidak terlalu tebal, tapi sangat berbobot isinya (Bagiku).

Setelah masuk ke perperpustakaan, aku langsung bergegas menuju tempat pengembalian/peminjaman buku-buku. Ternyata yang jaga ibu-ibu, dengan senyum khas mahasiswa telat mengembalikan buku, ku sapa beliau.
"Siang Ibu, biasa mau balikin buku, tapi maaf bu, telat" sambil nyengir ku sodorkan buku Arni Muhammad itu ke arah Ibu pegawai perpustakaan. 
dengan senyum pula ibu itu menjawab "Dendanya 1.400 neng". Aku balas senyumnya dengan menyodorkan uang 10.000 rupiah, yang pada waktu itu hanya itulah dan uang 500 rupiah yang aku bawa masuk keperpustakaan itu, sementara dompet dan HP ku tinggal bersama tas di tempat penitipan tadi.

"Nggak ada uang pas ya neng?" tanya ibu pegawai itu. "Wah, nggak ada bu" jawabku dengan menunjukkan tanganku yang kosong pertanda aku tidak membawa apa-apapun saat itu. "Eh, ibu ini ada 500 rupiah, jadi kalau dendanya 1.400 kembaliannya 9.000 saja atuh bu nggak apa-apa" tawarku pada saat itu. Ibu itu tidak menjawab namun dengan tetap tersenyum tangannya bergerak mengambil uang 10.000 dan 500 yang memang telah aku sodorkan. Kemudian mencari kembaliannya. Yang aku lihat waktu itu adalah, ibu itu mengembalikan uangku 9000 di tambah 100 rupiah.

Aku melongo... "cuma 100 perak doang kenapa musti dibalikin sih?" pikirku saat itu. Namun aku tidak bisa berbuat apa-apa, tanganku pun dengan lemah menerima saja uang yang 100 rupiah tadi. setelah kemudian aku katankan dalam hati "Super sekali, kawan".

Seharusnya, aku terkena denda 1.400 rupiah, yang aku sodorkan 10.000 dan 500. Pikirku pada saat itu ya sudahlah kembaliaannya 9000 saja, tak apa2lah aku denda 1500 toh cuma 100 perak ini. Namun tawaranku ditolak mentah-mentah dengan senyuman yang tetap bersahaja.

Apa yang dapat aku ambil dari peristiwa ini, begitu jujur dan bersahajanya ibu pegawai LSI itu. aku sendiri saja malu. Malu ketika mengingat kelakuanku (Bukan menilep uang orang ya). Biasanya kalau aku di suruh Bapak atau Mamak pergi belanja pasti ada sisa uangnnya, dan biasanya aku tak akan mengembalikkannya lagi ke mereka. Saat Mamak/Bannak bertanya "Uangnya belanjanya masih sisa toh?". "Iya.. tapi untuk aku dong" Dengan merasa tak berdosa aku masukkan uang itu ke dompet ku. meski hanya 500 sampai 10.000. Bapak/Mamak hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dan tertawa. Mungkin mereka berfikir "Nih anak kayak nggak pernah liat uang saja".. Namun sifat itu sulit aku rubah sepenuhnya, awalnya dulu cuma canda-candaan namun jadi kebiasaan. Hehehe

Lalu, setelah aku keluar dari LSI, aku bergegas pulang karena badanku terasa sangat letih. Sampai di rumah, otakku pun kembali tidak nyaman oleh pemberitaan di TV mengenai kisruh KPK versus Polri. Yang aku pikir sangat kekanak-kanakan saja ulah kedua instansi penegak hukum itu. Seperti tidak ada kerjaan lain. Mengapa harus rebutan menangani kasus Korupsi simulator SIM yang melibatkan "Mbah"nya di Polri itu sendiri.  Bagaimanapun juga korupsi memang udah jadu Culture di Indonesia ini. Usulnya sih Tembak di tempat saja para koruptor itu. Biar mati sampai akar-akarnya.

Yang terlintas adalah, sebaiknya kisruh KPK versus Polri itu di selesaikan oleh Ibu pegawai PerpustakaanIPB (LSI) saja. Aman. Akan terbongkar semuanya, aku jamin tidak ada yang terselip di dompet atau rekening bank para koruptor 100 rupiahpun.

Dramaga, Oktober 2012


Rabu, 03 Oktober 2012

Cantik (itu Musibah) !!! Zakia Putri Karina



Cantik itu musibah ...
Cantik itu petaka ...
Cantik itu celaka ...
Cantik itu marabahaya ...
Itu menurutku.

Iya, katakan saja aku tidak bersyukur, katakan saja aku tidak berterima kasih atas kecantikan yang telah Allah berikan kepadaku. Aku sangat bersyukur dan aku sangat berterima kasih kepada Allah yang telah memberiku rupa yang sangat elok. Rupa yang sangat didambakan wanita kebanyakan. Pipiku sebagai pauh dilayang bila terkena sinar matahari semakin memerah dan terdapat lesung pipi dikeduanya menambah manis rupaku. Warna kulitku putih berseri, rambutku hitam nan panjang lurus menggantung. Pandangan mataku tenang dan lembut, hidungku mancung dan berbibir halus serta diantaranya terlihat barisan gigiku yang putih, bersih dan rapi. Daguku seperti lebah bergantung, pinggangku sangatlah ramping, kakiku begitu jenjang, kokoh dan cara berjalanku gemulai namun pasti. Hal ini berbanding lurus dengan kepintaran dan kecerdasan yang aku miliki, sehingga aku bisa melanjutkan studiku di Program Studi Kimia di salah satu Universitas favorit di kotaku. Teman-temanku banyak, karena aku tergolong manusia yang ramah dan baik hatinya, itu kata mereka. Tak sedikit teman-teman ku yang berjenis pria sangat mendambakan ingin dekat denganku. Namun, aku tetap tak bergeming. Bukan aku sombong, bukan aku angkuh, bukan aku naif dan bukan aku sok alim. Akan tetapi, aku ingin menjadi wanita yang paling istimewa di hadapan Allah bukan karena rupaku, karena semenjak pertengahan kuliah dan berkenalan dengan seorang akhwat aku mulai mengenakan jilbab, meski ku akui jilbabku tak sepanjang akhwat-akhwat teman baikku itu, kata mereka “Berproseslah menjadi baik, Zakia”. Iya, Zakia namaku, Zakia Putri Kirana nama panjangku yang telah Ibu berikan ketika aku lahir. Bukan main suka cita Ayah dan Ibu ku memiliki anak yang cantik dan baik sepertiku. Banyak orang berfikir cantikku juga seperti putri sesuai dengan namaku.

Namun, seperti yang aku katakan tadi. Cantik itu musibah. Cantik itu petaka. Cantik itu celaka. Cantik itu marabahaya, itu menurutku. Semua ini berawal dari kisahku yang panjang dan berliku penuh onak dan duri, yang menyebabkan mengapa aku meneruskan studiku di jurusan kimia.

Sejak bayi, aku adalah bayi yang paling beruntung sedunia, itu menurutku. Semua orang sangat menyayangi dan gemas melihat pipiku memerah dan imut. Tak jarang jika di ajak Ayah jalan pagi di sekitar komplek rumahku, semua orang yang melihatku akan datang untuk sekedar berkata “Subhanallah, lucu sekali kamu Zakia”. Atau mencubit dengan gemas pipiku dan menciumi ku sejadi-jadinya. Ayah Ibuku sangat menyayangi dan bangga kepadaku. Itu ketika aku bayi.

Kemudian ketika aku menginjak ke Sekolah Dasar dan Ayah meninggal karena terkena serangan jantung. Itulah awal petaka yang sesungguhnya sehingga aku selalu menyalahkan kecantikan yang aku miliki. Di Sekolah Dasar pun aku nyaris diperkosa oleh teman-teman sebayaku sendiri saat pulang sekolah, beruntung tetanggaku mendengarkan teriakanku dan sempat menolongku, jika tidak tak tahu lagi jadinya aku. Bayangkan, anak-anak seusiaku waktu itu sudah sangat tertarik dengan rupaku yang sedemikian.

Dua tahun kemudian Ibu menikah lagi dengan seorang laki-laki berasal dari Timur Indonesia. Sebenarnya aku sangat tidak setuju dengan keputusan Ibu, aku sangat ingin Ibu setia kepada Ayah. Namun Ibu meyakinkan aku dengan sepenuh hati, bahwa suatu saat nanti aku sangat membutuhkan seorang Ayah, dan berjanji bahwa calon Ayah ku nanti akan sangat menyayangi ku dan menjagaku. Beberapa bulan pernikahan mereka aku memang sangat disayangi oleh lelaki itu, dari awal pernikahan memang aku tidak mau memanggilnya Ayah, bagiku Ayahku hanya satu. Ibu berusaha membujukku untuk memanggilnya Ayah, namun sia-sia aku tetap tidak mau, namun aku tetap hormat padanya. Dia bekerja di sebuah perusahaan swasta sedangkan Ibu menjaga butiknya semenjak masih ada Ayah kandungku. Namun, rasa sayang lelaki itu berubah menjadi nafsu yang menggila karena kecantikan rupaku. Ketika Ibuku telah pergi kebutik, saat itu aku libur sekolah dan lelaki itu sedang cuti kerja, disitulah petakan selanjutnya terjadi. lelaki itu memaksaku untuk melayaninya sebagai mana seorang suami istri, dan memaksaku bungkam, jika tidak maka dia tidak segan-segan mengancam akan membunuhku begitu saja. Atas nama wanita, saat itu nyaliku sangat ciut. Sampai beberapa bulan aku hanya bisa diam, dan menangis sendiri, bahkan aku sangat takut meski hanya bercerita kepada Ibuku sendiri. Berbulan-bulan kejadian itu berlanjut, namun ada pemberontakan yang terjadi dari dalam hatiku yang paling dalam. Suatu hari saat Ayah tidak ada di rumah, aku berlari kebutik Ibuku dan aku ceritakan apa yang terjadi selama ini kepada Ibu. Saat itu juga, betapa merah padam air muka Ibu menanggung marah dan kecewa, betapa terlukanya Ibu telah dikhianati suaminya sendiri, dan betapa tersayatnya hati Ibu saat tahu perbuatan suaminya itu kepadaku, anak kandung, anak semata wayangnya ini.

Pada hari itu juga Ibu melaporkan lelaki itu ke polisi, dan segera polisi menangkapnya. Pada hari itu juga Ibu meminta cerai, dan lelaki itu mengabulkannya. Di penjara 12 tahun itulah hukumannya. Kemudian Ibu memutuskan untuk pindah ke Semarang, dan memindahkan butiknya juga tanpa diketahui oleh mantan suaminya tersebut. Ibu ingin suasana baru dan menghilangkan keadaan buruk yang sempat membuat aku tak mau masuk ke rumah ku yang lama. Ibu ingin membuat aku tenang dan kembali merajut masa depan. Karena untungnya, aku tidak sampai hamil kala itu. Itulah buah kecantikan yang aku miliki. Bagaimana tidak aku berkata bahwa cantik itu adalah musibah.

Sejak saat itu, Ibu berjanji tidak akan menikah lagi dan akan selalu menjagaku sampai kapanpun dan setia kepada almarhum Ayah. “Zakia, Ibu sangat menyesal sekali, maafkan Ibu ya nak, Ibu berjanji akan selalu menjagamu, karena kamulah harta Ibu satu-satunya yang paling berharga yang Allah pernah kasih ke Ibu” Tangis Ibu kala itu pecah dan memelukku erat-erat. Waktu Ibu hanya dihabiskannya untuk bekerja dan bekerja demi aku. Berusaha memulihkan kondisi kejiwaanku yang sempat guncang. Menuruti semua keinginanku yang sempat hilang minat untuk melanjutkan kuliah atau bergaul dengan teman-teman yang lain. Memang pada saat aku dan Ibuku pindah ke Semarang, aku sudah lulus SMA. Sampai setahun kemudian, Ibu berhasil membujukku untuk melanjutkan kuliah. Ibu sangat berlebih-lebih senangnya, aku mulai kembali ceria lagi. Bagiku saat itu, Ibu adalah segalanya bagiku, tak mau aku jauh-jauh dari Ibu. Sehabis pulang kuliahpun aku ingin segera pulang dan bertemu Ibu. Ku lupakan rupaku yang cantik, dan bagiku wanita tercantik adalah Ibuku.”Ya, Allah... aku sayang Ibu, jagalah dia, lindungi dia aku sangat mencintainya”. Itulah pintaku. Namun, bukan berarti petaka itu hilang jauh dariku, rupa cantikku ini ternyata menyimpan celaka yang berpuluh-puluh jumlahnya.

Di kampus, sudah pasti aku satu-satunya idola diantara sekian banyak wanita. Memang banyak sekali yang cantik, namun semua masih di bawahku. Aku bagaikan bintang kejora yang selalu bersinar-sinar baik siang maupun malam. Banyak pria-pria memandangku penuh decak kagum, dan aku yakin bahkan ada yang berfikir aneh-aneh tentang aku. Mereka berusaha mendekatiku, merayu, dan segala daya upayanya untuk menarik perhatianku. Hari-harinya, meja tempatku duduk penuh dengan bunga, surat, coklat dan lain-lain. Sebenarnya aku tidak merasa istimewa, tapi aku dijadikan yang teristimewa.

Karena tak mendapat respon sama sekali dari aku, sebagian pria-pria itu merasa kecewa dan sakit hatinya. Dan malapetaka itu datang lagi, sewaktu aku hendak pulang seperti biasa aku melewati jalan yang lumayan sepi. Di situlah mereka menculik dan menahan aku di sebuah rumah yang tidak berpenghuni. Yang aku tahu waktu itu ada sekitar empat orang menghalangi jalanku dan mulutku disekap kain berbau hingga tak sadarkan diri. Setelah itu aku tidak tahu lagi apa yang terjadi ketika sadar aku telah berada di sebuah ruangan yang serba putih dan ketika aku buka mataku terlihatlah Ibu sedang menangis di sebelahku memegangi tanganku.

Zakia ada di mana, Ibu?” Ibu sempat terkejut aku tiba-tiba bertanya, seketika itu juga Ibu mengusap airmatanya. “Kamu sudah sadar Zakia? Kamu ada si rumah sakit, sayang”. Suara Ibu terdengar parau, agaknya Ibu telah menagis semalaman. “Apa yang terjadi?” Tanyaku pada Ibu, aku memang belum stabil kepala ku masih sangat pusing dan sakitnya tak terkira. Bukannya menjawab Ibu malah kembali menangis dan langsung memelukku.

Tahulah aku apa yang terjadi, ternyata keempat pemuda yang sempat aku lihat itu adalah kakak senior di kampusku yang merasa sakit hati atas sikapku yang selalu diam tidak menanggapi perkataannya. Mereka membawaku kerumah kosong dan di sanalah kekesalan mereka dilampiaskan kepadaku, mereka telah menggilirku berkali-kali. Meski aku dalam keadaan pingsan. Setelah puas mereka meninggalkanku, namun ketika mereka keluar ada beberapa orang warga yang sempat memergoki mereka dan ketika hal itu di anggap ganjil, maka pemuda itu ditangkap dan diserahkan kepolisi. Dan aku, tubuhku yang sudah remuk redam ini di bawa oleh warga kerumah sakit tempatku terbaring sekarang ini. “Ya Allah, aku sudah begitu kotor dan hancur. Tidak pantas rasanya aku mengharap Engkau menjagaku lagi, tapi aku juga ingin mengakhiri petaka ini secepatnya.”.  Pintaku dalam tangis siang dan malam.

Beberapa hari aku dirawat di rumah sakit, ada beberapa teman menjengukku dan turut berduka atas musibah yang aku alami. Tak terkecuali seorang Akhwat yang menjadi teman baikku, rupanya hatinya sangat terluka melihat saudari seimannya telah dianiaya. Akhwat itu bernama Anisa. Anisa selalu menjengukku kerumah, karena setelah peristiwa itu aku nyaris tidak mau melanjutkan kuliahku yang pada waktu itu telah berada di tingkat empat. Namun Anisa adalah sahabat yang sangat baik, dia selalu berusaha menegar-negarkan hatiku yang hancur berkeping-keping supaya utuh kembali. Dialah yang mengispirasiku untuk menutup auratku dan aku luluh juga dengan rayuannya ketika dia mengajakku kembali kekampus lagi.

Zakia, tidak baik berlama-lama dalam duka. Sabarlah, ini cobaan dari Allah. Aku yakin sesungguhnya engkau adalah wanita yang kuat dan tegar. Sebenarnya lukamu itu adalah lukaku juga, Zakia. Tapi ingatlah bahwa Allah bersama orang-orang yang sabar. Mohon selalu perlindungan kepada-Nya baik siang maupun malam”. Anisa menasehatiku dengan suaranya yang lembut dan penuh kesejukkan, aku hanya bisa tersenyum getir kala itu. Namun damai sekali berada di dekatnya. Diam-diam aku perhatikan cara dia memakai jilbab, aku mulai tertarik.

“Nis, aku ingin memakai jilbab seperti kamu. Meski ku tahu diri ini sangatlah kotor dan penuh dosa. Namun aku masih berharap Allah mau mengampuni dosaku. Dan barangkali ketika aku menutut auratku, aku bisa menyembunyikan rupaku dari para lelaki”. Kataku. Tiba-tiba berubah air muka Anisa mendengar perkataanku, dipeluknya aku dan menangislah dia. “Benarkah itu, Zakia?” seolah-olah dia tidak percaya atas perkataanku. “Demi Allah Nis, aku ingin menjadi sepertimu meski tidak sesempurna kamu, minimal aku ingin menjaga diriku sendiri.” Kataku kepada Zakia. Anisa langsung memelukku, pelukkan persaudaraan yang sangat hangat, menentramkan jiwa dan menenangkan hati. Sejak saat itu aku telah mengenakan jilbab meski tak panjang-panjang dan kembali kekampus lagi.

Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat” (QS. Al-A’raaf : 26).

Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. (QS. An Nuur : 24).

Indah benar perintah Allah dalam dua surah Al-Qur’an itu demi menjaga kehormatan manusia, yang telah Anisa jelaskan panjang lebar kepadaku. Karena aku selalu ingin Anisa menjelaskan Al-Qur’an sebanyak-banyaknya yang dulu tidak pernah aku dapatkan. Aku juga mulai ikut kajian rutin yang diselenggarakan oleh organisasi keislaman di kampusku bersama Anisa. Dan Anisa pula memperkenalkan aku pada teman-temannya yang sangat ramah-ramah itu. Aku merasa nyaman di tengah-tengah mereka, sejenak masa lalu hitamku hilang hari demi hari aku mulai ceria kembali. Indah persaudaraan ini, selanjutnya yang aku tahu adalah inilah namanya ukhuwah islamiyah. Aku jadi merasa sangat dihargai dan sangat disayangi berkumpul bersama mereka. Dengan menutup auratku, aku sudah tidak lagi dihadapkan pada hal-hal yang menggangguku. Anisa selalu ada disampingku. Karena Anisa termasuk wanita yang disegani karena keteguhan hatinya, tidak ada yang berani lagi menggangguku. Sekarang baru aku sadari bahwa aku memang istimewa.

Sejenak ku lupakan tentang parasku yang cantik ini, kulupakan malapetaka, musibah dan celaka yang selama ini menimpaku. Dengan didampingi Anisa hari-hari ku semakin indah, menambah daftar nama orang yang aku sayangi setelah Ibu. Ibu juga terlihat bahagia kembali melihat aku seperti dulu, tersenyum ceria, ibadah sholat wajib yang tak pernah lagi aku tinggalkan, membaca Al-Qur’an dan ibadah-ibadah lain yang telah Anisa jelaskan kepadaku.

Beberapa bulan lamanya aku lupa akan peristiwa yang telah menimpaku, sampai pada saat ini. Saat aku berada seorang diri di dalam Laboratorium Kimia di kampusku. Kulirik jam di dinding pukul 14.00 tak ada orang saat itu karena praktikum telah usai setengah jam yang lalu. Tinggal aku berada sendiri di ruangan ini, sendiri namun ditemani sesobek kapas sisa praktikum tadi dan sebotol cairan kimia berbahaya yang bisa membakar kulit jika terkena cairan itu yang aku dapat dari lemari bertuliskan “AWAS ! CAIRAN BERBAHAYA”. 

Cantik,
Aku sadari ini adalah karunia Allah. Aku bersyukur atas-Nya. Meski sedikit sakit, aku tidak menyesali hal-hal buruk yang sudah aku alami. Namun hati ini terlanjur membenci cantik rupaku, dan akan aku akhiri tampilnya cantik wajahku kemuka publik. Aku ingin, bukan aku yang terlihat cantik. Tapi aku yang buruk rupa. Bukan aku tidak bersyukur, tapi aku ingin menjaga aku.

Cairan berbahaya yang ada ditanganku, kutuangkan ke kapas yang kupegang ditangan kanan. Sedikit, demi sedikit ku usah kewajahku, ku anggap saja aku sedang membersihkan wajahku,  terus dan terus hingga ku rasa perih dan panas teramat panas. Sakit teramat sakit, aku tidak perduli, hingga menjalar ke seluruh tubuhku. Sampai tak kusadari sudah kutumpahkan semua cairan itu mengenai wajahku. Terbakar, jelas sekali melepuh wajahku, aku tak perduli. Sampai tak perdulinya aku hingga jatuh badanku kelantai.

Seingatku, ada langkah-langkah kaki yang panik berlarian, suara ambulan, roda berputar, tangis yang pecah dan kemudian hening, sepi, dan sunyi..........


Dramaga, September 2012




Minggu, 03 Juni 2012

Syafakillah ...



Layar putih berkabut belum tentu luarnya tak tampak,
Nahkoda kapal selalu menggunakan teropong untuk melihat depan kapal supaya tak membentur kapal lain,
Piramid selalu tampak segitiga padahal ia segi empat,
Bumi yang katanya bulat ternyata datar.

Nyatanya semarak suara adzan saja dipermasalahkan,
Nyatanya tidak di ajak jalan-jalan keluar negeri saja minta cerai,
Nyatanya harga toilet saja mahalnya melebihi Mercedes-Bens,
Nyatanya publikasi media harus sesuai keinginan pemilik media,

Lalu,
Apakah masih mau mengurusi sendal jepit yang hilang?
Atau terus mengizinkan Lady Gaga manggung di halaman rumah gue?

Sepertinya...
Aku sakit,
Negeriku juga sakit..


20.58