Beranda Cand

Rabu, 03 Oktober 2012

Cantik (itu Musibah) !!! Zakia Putri Karina



Cantik itu musibah ...
Cantik itu petaka ...
Cantik itu celaka ...
Cantik itu marabahaya ...
Itu menurutku.

Iya, katakan saja aku tidak bersyukur, katakan saja aku tidak berterima kasih atas kecantikan yang telah Allah berikan kepadaku. Aku sangat bersyukur dan aku sangat berterima kasih kepada Allah yang telah memberiku rupa yang sangat elok. Rupa yang sangat didambakan wanita kebanyakan. Pipiku sebagai pauh dilayang bila terkena sinar matahari semakin memerah dan terdapat lesung pipi dikeduanya menambah manis rupaku. Warna kulitku putih berseri, rambutku hitam nan panjang lurus menggantung. Pandangan mataku tenang dan lembut, hidungku mancung dan berbibir halus serta diantaranya terlihat barisan gigiku yang putih, bersih dan rapi. Daguku seperti lebah bergantung, pinggangku sangatlah ramping, kakiku begitu jenjang, kokoh dan cara berjalanku gemulai namun pasti. Hal ini berbanding lurus dengan kepintaran dan kecerdasan yang aku miliki, sehingga aku bisa melanjutkan studiku di Program Studi Kimia di salah satu Universitas favorit di kotaku. Teman-temanku banyak, karena aku tergolong manusia yang ramah dan baik hatinya, itu kata mereka. Tak sedikit teman-teman ku yang berjenis pria sangat mendambakan ingin dekat denganku. Namun, aku tetap tak bergeming. Bukan aku sombong, bukan aku angkuh, bukan aku naif dan bukan aku sok alim. Akan tetapi, aku ingin menjadi wanita yang paling istimewa di hadapan Allah bukan karena rupaku, karena semenjak pertengahan kuliah dan berkenalan dengan seorang akhwat aku mulai mengenakan jilbab, meski ku akui jilbabku tak sepanjang akhwat-akhwat teman baikku itu, kata mereka “Berproseslah menjadi baik, Zakia”. Iya, Zakia namaku, Zakia Putri Kirana nama panjangku yang telah Ibu berikan ketika aku lahir. Bukan main suka cita Ayah dan Ibu ku memiliki anak yang cantik dan baik sepertiku. Banyak orang berfikir cantikku juga seperti putri sesuai dengan namaku.

Namun, seperti yang aku katakan tadi. Cantik itu musibah. Cantik itu petaka. Cantik itu celaka. Cantik itu marabahaya, itu menurutku. Semua ini berawal dari kisahku yang panjang dan berliku penuh onak dan duri, yang menyebabkan mengapa aku meneruskan studiku di jurusan kimia.

Sejak bayi, aku adalah bayi yang paling beruntung sedunia, itu menurutku. Semua orang sangat menyayangi dan gemas melihat pipiku memerah dan imut. Tak jarang jika di ajak Ayah jalan pagi di sekitar komplek rumahku, semua orang yang melihatku akan datang untuk sekedar berkata “Subhanallah, lucu sekali kamu Zakia”. Atau mencubit dengan gemas pipiku dan menciumi ku sejadi-jadinya. Ayah Ibuku sangat menyayangi dan bangga kepadaku. Itu ketika aku bayi.

Kemudian ketika aku menginjak ke Sekolah Dasar dan Ayah meninggal karena terkena serangan jantung. Itulah awal petaka yang sesungguhnya sehingga aku selalu menyalahkan kecantikan yang aku miliki. Di Sekolah Dasar pun aku nyaris diperkosa oleh teman-teman sebayaku sendiri saat pulang sekolah, beruntung tetanggaku mendengarkan teriakanku dan sempat menolongku, jika tidak tak tahu lagi jadinya aku. Bayangkan, anak-anak seusiaku waktu itu sudah sangat tertarik dengan rupaku yang sedemikian.

Dua tahun kemudian Ibu menikah lagi dengan seorang laki-laki berasal dari Timur Indonesia. Sebenarnya aku sangat tidak setuju dengan keputusan Ibu, aku sangat ingin Ibu setia kepada Ayah. Namun Ibu meyakinkan aku dengan sepenuh hati, bahwa suatu saat nanti aku sangat membutuhkan seorang Ayah, dan berjanji bahwa calon Ayah ku nanti akan sangat menyayangi ku dan menjagaku. Beberapa bulan pernikahan mereka aku memang sangat disayangi oleh lelaki itu, dari awal pernikahan memang aku tidak mau memanggilnya Ayah, bagiku Ayahku hanya satu. Ibu berusaha membujukku untuk memanggilnya Ayah, namun sia-sia aku tetap tidak mau, namun aku tetap hormat padanya. Dia bekerja di sebuah perusahaan swasta sedangkan Ibu menjaga butiknya semenjak masih ada Ayah kandungku. Namun, rasa sayang lelaki itu berubah menjadi nafsu yang menggila karena kecantikan rupaku. Ketika Ibuku telah pergi kebutik, saat itu aku libur sekolah dan lelaki itu sedang cuti kerja, disitulah petakan selanjutnya terjadi. lelaki itu memaksaku untuk melayaninya sebagai mana seorang suami istri, dan memaksaku bungkam, jika tidak maka dia tidak segan-segan mengancam akan membunuhku begitu saja. Atas nama wanita, saat itu nyaliku sangat ciut. Sampai beberapa bulan aku hanya bisa diam, dan menangis sendiri, bahkan aku sangat takut meski hanya bercerita kepada Ibuku sendiri. Berbulan-bulan kejadian itu berlanjut, namun ada pemberontakan yang terjadi dari dalam hatiku yang paling dalam. Suatu hari saat Ayah tidak ada di rumah, aku berlari kebutik Ibuku dan aku ceritakan apa yang terjadi selama ini kepada Ibu. Saat itu juga, betapa merah padam air muka Ibu menanggung marah dan kecewa, betapa terlukanya Ibu telah dikhianati suaminya sendiri, dan betapa tersayatnya hati Ibu saat tahu perbuatan suaminya itu kepadaku, anak kandung, anak semata wayangnya ini.

Pada hari itu juga Ibu melaporkan lelaki itu ke polisi, dan segera polisi menangkapnya. Pada hari itu juga Ibu meminta cerai, dan lelaki itu mengabulkannya. Di penjara 12 tahun itulah hukumannya. Kemudian Ibu memutuskan untuk pindah ke Semarang, dan memindahkan butiknya juga tanpa diketahui oleh mantan suaminya tersebut. Ibu ingin suasana baru dan menghilangkan keadaan buruk yang sempat membuat aku tak mau masuk ke rumah ku yang lama. Ibu ingin membuat aku tenang dan kembali merajut masa depan. Karena untungnya, aku tidak sampai hamil kala itu. Itulah buah kecantikan yang aku miliki. Bagaimana tidak aku berkata bahwa cantik itu adalah musibah.

Sejak saat itu, Ibu berjanji tidak akan menikah lagi dan akan selalu menjagaku sampai kapanpun dan setia kepada almarhum Ayah. “Zakia, Ibu sangat menyesal sekali, maafkan Ibu ya nak, Ibu berjanji akan selalu menjagamu, karena kamulah harta Ibu satu-satunya yang paling berharga yang Allah pernah kasih ke Ibu” Tangis Ibu kala itu pecah dan memelukku erat-erat. Waktu Ibu hanya dihabiskannya untuk bekerja dan bekerja demi aku. Berusaha memulihkan kondisi kejiwaanku yang sempat guncang. Menuruti semua keinginanku yang sempat hilang minat untuk melanjutkan kuliah atau bergaul dengan teman-teman yang lain. Memang pada saat aku dan Ibuku pindah ke Semarang, aku sudah lulus SMA. Sampai setahun kemudian, Ibu berhasil membujukku untuk melanjutkan kuliah. Ibu sangat berlebih-lebih senangnya, aku mulai kembali ceria lagi. Bagiku saat itu, Ibu adalah segalanya bagiku, tak mau aku jauh-jauh dari Ibu. Sehabis pulang kuliahpun aku ingin segera pulang dan bertemu Ibu. Ku lupakan rupaku yang cantik, dan bagiku wanita tercantik adalah Ibuku.”Ya, Allah... aku sayang Ibu, jagalah dia, lindungi dia aku sangat mencintainya”. Itulah pintaku. Namun, bukan berarti petaka itu hilang jauh dariku, rupa cantikku ini ternyata menyimpan celaka yang berpuluh-puluh jumlahnya.

Di kampus, sudah pasti aku satu-satunya idola diantara sekian banyak wanita. Memang banyak sekali yang cantik, namun semua masih di bawahku. Aku bagaikan bintang kejora yang selalu bersinar-sinar baik siang maupun malam. Banyak pria-pria memandangku penuh decak kagum, dan aku yakin bahkan ada yang berfikir aneh-aneh tentang aku. Mereka berusaha mendekatiku, merayu, dan segala daya upayanya untuk menarik perhatianku. Hari-harinya, meja tempatku duduk penuh dengan bunga, surat, coklat dan lain-lain. Sebenarnya aku tidak merasa istimewa, tapi aku dijadikan yang teristimewa.

Karena tak mendapat respon sama sekali dari aku, sebagian pria-pria itu merasa kecewa dan sakit hatinya. Dan malapetaka itu datang lagi, sewaktu aku hendak pulang seperti biasa aku melewati jalan yang lumayan sepi. Di situlah mereka menculik dan menahan aku di sebuah rumah yang tidak berpenghuni. Yang aku tahu waktu itu ada sekitar empat orang menghalangi jalanku dan mulutku disekap kain berbau hingga tak sadarkan diri. Setelah itu aku tidak tahu lagi apa yang terjadi ketika sadar aku telah berada di sebuah ruangan yang serba putih dan ketika aku buka mataku terlihatlah Ibu sedang menangis di sebelahku memegangi tanganku.

Zakia ada di mana, Ibu?” Ibu sempat terkejut aku tiba-tiba bertanya, seketika itu juga Ibu mengusap airmatanya. “Kamu sudah sadar Zakia? Kamu ada si rumah sakit, sayang”. Suara Ibu terdengar parau, agaknya Ibu telah menagis semalaman. “Apa yang terjadi?” Tanyaku pada Ibu, aku memang belum stabil kepala ku masih sangat pusing dan sakitnya tak terkira. Bukannya menjawab Ibu malah kembali menangis dan langsung memelukku.

Tahulah aku apa yang terjadi, ternyata keempat pemuda yang sempat aku lihat itu adalah kakak senior di kampusku yang merasa sakit hati atas sikapku yang selalu diam tidak menanggapi perkataannya. Mereka membawaku kerumah kosong dan di sanalah kekesalan mereka dilampiaskan kepadaku, mereka telah menggilirku berkali-kali. Meski aku dalam keadaan pingsan. Setelah puas mereka meninggalkanku, namun ketika mereka keluar ada beberapa orang warga yang sempat memergoki mereka dan ketika hal itu di anggap ganjil, maka pemuda itu ditangkap dan diserahkan kepolisi. Dan aku, tubuhku yang sudah remuk redam ini di bawa oleh warga kerumah sakit tempatku terbaring sekarang ini. “Ya Allah, aku sudah begitu kotor dan hancur. Tidak pantas rasanya aku mengharap Engkau menjagaku lagi, tapi aku juga ingin mengakhiri petaka ini secepatnya.”.  Pintaku dalam tangis siang dan malam.

Beberapa hari aku dirawat di rumah sakit, ada beberapa teman menjengukku dan turut berduka atas musibah yang aku alami. Tak terkecuali seorang Akhwat yang menjadi teman baikku, rupanya hatinya sangat terluka melihat saudari seimannya telah dianiaya. Akhwat itu bernama Anisa. Anisa selalu menjengukku kerumah, karena setelah peristiwa itu aku nyaris tidak mau melanjutkan kuliahku yang pada waktu itu telah berada di tingkat empat. Namun Anisa adalah sahabat yang sangat baik, dia selalu berusaha menegar-negarkan hatiku yang hancur berkeping-keping supaya utuh kembali. Dialah yang mengispirasiku untuk menutup auratku dan aku luluh juga dengan rayuannya ketika dia mengajakku kembali kekampus lagi.

Zakia, tidak baik berlama-lama dalam duka. Sabarlah, ini cobaan dari Allah. Aku yakin sesungguhnya engkau adalah wanita yang kuat dan tegar. Sebenarnya lukamu itu adalah lukaku juga, Zakia. Tapi ingatlah bahwa Allah bersama orang-orang yang sabar. Mohon selalu perlindungan kepada-Nya baik siang maupun malam”. Anisa menasehatiku dengan suaranya yang lembut dan penuh kesejukkan, aku hanya bisa tersenyum getir kala itu. Namun damai sekali berada di dekatnya. Diam-diam aku perhatikan cara dia memakai jilbab, aku mulai tertarik.

“Nis, aku ingin memakai jilbab seperti kamu. Meski ku tahu diri ini sangatlah kotor dan penuh dosa. Namun aku masih berharap Allah mau mengampuni dosaku. Dan barangkali ketika aku menutut auratku, aku bisa menyembunyikan rupaku dari para lelaki”. Kataku. Tiba-tiba berubah air muka Anisa mendengar perkataanku, dipeluknya aku dan menangislah dia. “Benarkah itu, Zakia?” seolah-olah dia tidak percaya atas perkataanku. “Demi Allah Nis, aku ingin menjadi sepertimu meski tidak sesempurna kamu, minimal aku ingin menjaga diriku sendiri.” Kataku kepada Zakia. Anisa langsung memelukku, pelukkan persaudaraan yang sangat hangat, menentramkan jiwa dan menenangkan hati. Sejak saat itu aku telah mengenakan jilbab meski tak panjang-panjang dan kembali kekampus lagi.

Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat” (QS. Al-A’raaf : 26).

Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. (QS. An Nuur : 24).

Indah benar perintah Allah dalam dua surah Al-Qur’an itu demi menjaga kehormatan manusia, yang telah Anisa jelaskan panjang lebar kepadaku. Karena aku selalu ingin Anisa menjelaskan Al-Qur’an sebanyak-banyaknya yang dulu tidak pernah aku dapatkan. Aku juga mulai ikut kajian rutin yang diselenggarakan oleh organisasi keislaman di kampusku bersama Anisa. Dan Anisa pula memperkenalkan aku pada teman-temannya yang sangat ramah-ramah itu. Aku merasa nyaman di tengah-tengah mereka, sejenak masa lalu hitamku hilang hari demi hari aku mulai ceria kembali. Indah persaudaraan ini, selanjutnya yang aku tahu adalah inilah namanya ukhuwah islamiyah. Aku jadi merasa sangat dihargai dan sangat disayangi berkumpul bersama mereka. Dengan menutup auratku, aku sudah tidak lagi dihadapkan pada hal-hal yang menggangguku. Anisa selalu ada disampingku. Karena Anisa termasuk wanita yang disegani karena keteguhan hatinya, tidak ada yang berani lagi menggangguku. Sekarang baru aku sadari bahwa aku memang istimewa.

Sejenak ku lupakan tentang parasku yang cantik ini, kulupakan malapetaka, musibah dan celaka yang selama ini menimpaku. Dengan didampingi Anisa hari-hari ku semakin indah, menambah daftar nama orang yang aku sayangi setelah Ibu. Ibu juga terlihat bahagia kembali melihat aku seperti dulu, tersenyum ceria, ibadah sholat wajib yang tak pernah lagi aku tinggalkan, membaca Al-Qur’an dan ibadah-ibadah lain yang telah Anisa jelaskan kepadaku.

Beberapa bulan lamanya aku lupa akan peristiwa yang telah menimpaku, sampai pada saat ini. Saat aku berada seorang diri di dalam Laboratorium Kimia di kampusku. Kulirik jam di dinding pukul 14.00 tak ada orang saat itu karena praktikum telah usai setengah jam yang lalu. Tinggal aku berada sendiri di ruangan ini, sendiri namun ditemani sesobek kapas sisa praktikum tadi dan sebotol cairan kimia berbahaya yang bisa membakar kulit jika terkena cairan itu yang aku dapat dari lemari bertuliskan “AWAS ! CAIRAN BERBAHAYA”. 

Cantik,
Aku sadari ini adalah karunia Allah. Aku bersyukur atas-Nya. Meski sedikit sakit, aku tidak menyesali hal-hal buruk yang sudah aku alami. Namun hati ini terlanjur membenci cantik rupaku, dan akan aku akhiri tampilnya cantik wajahku kemuka publik. Aku ingin, bukan aku yang terlihat cantik. Tapi aku yang buruk rupa. Bukan aku tidak bersyukur, tapi aku ingin menjaga aku.

Cairan berbahaya yang ada ditanganku, kutuangkan ke kapas yang kupegang ditangan kanan. Sedikit, demi sedikit ku usah kewajahku, ku anggap saja aku sedang membersihkan wajahku,  terus dan terus hingga ku rasa perih dan panas teramat panas. Sakit teramat sakit, aku tidak perduli, hingga menjalar ke seluruh tubuhku. Sampai tak kusadari sudah kutumpahkan semua cairan itu mengenai wajahku. Terbakar, jelas sekali melepuh wajahku, aku tak perduli. Sampai tak perdulinya aku hingga jatuh badanku kelantai.

Seingatku, ada langkah-langkah kaki yang panik berlarian, suara ambulan, roda berputar, tangis yang pecah dan kemudian hening, sepi, dan sunyi..........


Dramaga, September 2012




Tidak ada komentar:

Posting Komentar