Beranda Cand

Senin, 01 April 2013

Sekarung Beras


Sudah dua kali bangun tidur, cuci muka atau mandi langsung ambil kunci motor dan melesat pergi. Kemarin, akibatnya adalah kehujanan hebat di perjalanan yang harus ditempuh selama kurang lebih satu jam, dengan kondisi hujan lebat dan petir saling bersahutan, tetap saja aku melenggang maju tanpa menghiraukan Mbak-ku menelfonku, menanyakan keadaanku tepatnya keberadaanku yang ketika sebelum pergi ia tak mengizinkanku pulang karena cuaca sangat gelap, namun tetap saja aku tidak mendengarkannya. Hari ini, entah sudah jadi kebiasaan, aku selalu bangun siang, inipun bukan tanpa alasan, aku tidak dibebankan dengan kewajiban lima waktu ku, oh.. jadinya aku bisa sesuka hati bangun siang gitu? Dan aku rasa tidak, aku punya pembelaan kalau aku lagi tidak enak badan padahal pagi ini aku punya janji mau jemput temanku di BS. Dan lagi-lagi aku tersentak bangun, temanku sudah sampai di BS dan aku baru bangun dan sudah dapat di tebak, aku belum mandi. Dengan mandi ala kecepatan cahaya, kemudian aku siapkan motor ku dan ku tancap gas menuju BS.

Selanjutnya setelah sampai di rumah, ingin ku pejamkan mata kembali. Ah,, rasanya tidak. Perutku melilit dan aku harus sarapan. Sengaja aku beli sebungkus bubur ayam di Bara untuk mengganjal perut ku yang mulai berdendang ria menyanyikan lagu Seulayang, ah.. mellow banget sih perut ku ini. Intinya, aku segera menyambar piring di dapur dan menuangkan bubur yang baru saja aku beli tadi. Pastinya dengan kondisi pakaian masih lengkap ala kondangan, aku tidak berniat membereskan badan terlebih dahulu sebelum makan. Langsung saja, dengan henpon ada di tangan kiri tentunya, ya karena aku punya agenda hari ini untuk menghubungi dua orang yang ada di Jambi, yang pasti saja tentunya aku akan merepotkan mereka berdua lagi dan kembali. Satu, dua, tiga suap bubur dengan awalan Basmallah sudah mulai bisa aku telan, tentunya dengan mulut masih saja menguap.

Kemudian inilah yang akan aku ceritakan. Ketika aku sarapan bubur di ruang makan kos ku, tiba-tiba ada Bibi yang biasa ngurusin kos (nyapu, ngepel, ngelap, dll) dan mencuci bajuku serta terkadang mencuci piring bekas makanku, ia kemudian menegurku. “Mbak Kur, yang lebih kecil dari leptop apa ya namanya?” Tanya bibi sambil tangannya cekatan membersihkan lantai di sebelah tempat duduk ku, itupun ia bertanya tanpa sedikitpun melirikku. “Notbuk ta Bi, kenapa Bi?” Jawab dan Tanya ku kemudian. “Berapa kira-kira harganya Mbak?” Tanya Bibi kemudian. “Macem-macem Bi, ada yang 1,5 sampai 5-an (Juta tentunya)” Jawabku, selanjutnya aku bertanya kembali “Kenapa Bi?”. Bibi tersenyum, lalu berceritalah dia. “Si Deri minta beliin mbak, katanya mau buat laporan tugas-tugas sekolahnya, Deri kepengen banget Mbak, padahal dulu-dulunya kakak-kakaknya pada nggak ada yang minta, Deri kepengen banget. Kalau di sekitaran kampus belinya gimana Mbak? Bibi mau jual beras sekarung, buat nambahin tabungannya Deri beli notbuk”. Aliran darahku tiba-tiba terasa berhenti seketika. Aku gelagapan menjawab pertanyaan Bibi. Dan tiba-tiba selera makan bubur ku lenyap ditelan pusaran air, hening, tertegun dengan perih aku mencoba menjawabnya “Emm, jangan di kampus Bi, lumayan beda harganya, suruh aja Deri ke Jambu Dua” Jawabku sekenanya. “O, iya ya Mbak, di Jambu Dua kan banyak ya, iya nanti Bibi suruh Deri kesana aja, makanya tadi Bibi Tanya Mbak Kur dulu, makasih ya Mbak”. “Iya Bi sama-sama”. Aku tersenyum agak getir memang, ditengah-tengah suapan bubur yang tak lagi enak rasanya untuk aku telan, sedangkan Bibi malah tambah semangat mengepel lantai yang memang sudah tugas nya tersebut mengurus kos ini dengan tersenyum bahagia.

Dan aku… ketika Bibi berlalu dengan pekerjaannya yang lain, aku mencoba sedikit-demi sedikit memasukkan sekitar 7 suapan bubur lagi, namun sudah tidak bisa aku lakukan. Perut yang tadinya lapar luar biasa, kini penuh tiba-tiba. Aku termenung lama sekali, tak beranjak dari ruang makan, rasanya kaki ku pun tak bersahabat dengan ku pagi ini, ia terasa berat untuk digerakkan. Pedih, perih memang kawan, pagi ini ulu hati ku rasanya ditusuk godam sebesar gelondongan kayu Bulian. Sakit, sesak, terhimpit sangat susah aku utarakan apa yang sedang aku rasakan, sampai nyaris meleleh air mata ini. Jelas saja tidak aku penuhi permintaan mata ku kali ini untuk mengeluarkan airnya, aku malu kalau tiba-tiba Bibi lewat di sebelahku. Kemudian aku hanya menyusun kekuatan untuk membersihkan bekas sarapanku pagi ini.

Bibi adalah pembantu rumah tangga di kos ku, yang tugasnya setiap pagi sudah dapat diketahui bersama, membuka jendela, mematikan atau menghidupkan lampu, menyapu, mengepel, ngelap sana-ngelap sini, nyuci baju penghuni kos (ya, yang ini sesuai kesepakatan memang, termasuk baju ku, dan inipun belum berlangsung lama, karena beberapa bulan yang lalu aku sempat dirawat di rumah sakit, Bapak tidak mengizinkanku nyuci sendiri, iya…). Penghasilannya per bulan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dengan mengandalkan tanaman padi di sawahnya tentunya. Aku tidak dapat menebak berapa, tapi aku bisa merasakannya. Demi memenuhi permintaan anak bungsunya yang masih SMK untuk di belikan notebook, Bibi rela akan menjual berasnya satu karung. #Glekk, tentu ini sangat irrasional menurutku. Bibi pernah bercerita kepadaku sebelumnya, kalau hasil panen sekarang menurun karena sawahnya sering di buat praktek oleh mahasiswa (Ya aku tahu, ini pasti ada imbal jasanya juga). Tapi demi anaknya, notebook yang diminta anaknya, Bibi akan menjualnya sekarung, ingat SEKARUNG BERAS. Mukaku memerah (bukan karena jatuh cinta atau terkena rayuan-rayuan sang PHP*B *Pemberi Harapan Palsu* Belaka seperti yang sering di alami orang-orang sekarang) tapi karena rasanya mukaku terkena tampar tanpa tangan. Pedih, perih, sakit. Aku pikirkan kembali apa yang sudah aku minta selama ini kepada kedua orang tuaku. Rasanya dulu-dulu aku tidak pernah perduli ada atau tidak, yang ku tahu apa yang aku minta ada. Meski aku tahu tanpa aku minta pun terkadang orang tuaku juga nawarin.

Tapi bagaimana kejadiannya jika ketika aku minta melanjutkan kuliah S2 ini tiba-tiba orang tuaku menjual beras sekarung juga. Ohh… tidak… sesak sekali rasanya (karena ini lebih dari sekarung, karena kalau dikarungi bakalan berkarung2 jumlahnya). Aku tidak akan sanggup membayangkannya kembali. Aku hanya sanggup menatap gambar Bapak, Mamak dan adik semata wayang, intan berlian, emas permata ku satu-satunya yang aku punya. Kembali aku mengingat ketika akhir penyusunan skripsi aku menulis halaman persembahan, berlinangan airmata, menggoreskan jasa-jasa Bapak, Mamak, adikku di atas kertas tersebut dengan kelunya. Aku sudah tidak dapat menghitung berapa ratus, juta, milyar, triliunkah hartanya, kasih sayangnya, doa-doanya yang mengalir disetiap ayunan langkahku ini. Aku tidak dapat menggantinya, tentu saja Allah, I can’t. “Bapak sama Mamak, donga’ke juga, mugo-mugo ndang ujian skripsi gen ndang wisuda, doa ne Bapak karo Mamak InsyaAllah ora putus nduk” Suara di seberang sana kala itu parau terdengar, mereka tahu aku sedang berhadapan dengan hal masalah yang membuat sesak dadaku kala itu. Sampai Bapak bilang “Sudah lulus nanti boleh langsung kuliah lagi, opo sing mbok pangarepi mugo-mugo di ridhoi Gusti Allah, nduk” Nyessss, Speechless, Ora iso ngomong opo-opo meneh, mak grek, mandeg. Total saja, kalau yang di keluarin orangtua selama ini ibarat beras, berapa ribu, juta, milyar, triliun karungkah? Tidak bisa dikalkulasikan. “Ya Allah, ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku, dan sayangailah keduanya sebagaimana keduanya menyayangiku waktu kecil” Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar