Rasulullah SAW bersabda, "Bahwa ketika istri Tsabit bin Qais
Al-Anshari r.a menyatakan tidak bisa melanjutkan rumah tangga dengannya karena
tidak mencintainya, dan ia bersedia menyerahkan kembali kebun kepadanya yang
dulu dijadikan sebagai mahar pernikahannya.
Beliau menyuruh Tsabit untuk menceraikannya, maka Tsabit pun melaksanakannya."
(HR. AL-BUKHARI).
Beliau menyuruh Tsabit untuk menceraikannya, maka Tsabit pun melaksanakannya."
(HR. AL-BUKHARI).
“Maksudku, bukan karena Hadist itu aku ingin
mengembalikan mahar yang lima tahun yang lalu engkau berikan sebagai syarat syahnya
ikatan suci kita di depan para saksi dan penghulu, di depan kedua orang tua
kita, keluarga besar kita dan handai taulan yang datang pada saat pernikahan
Barakah kita. InshaaAllah. Bukan itu, bukan itu maksudku”. Bathinku mulai
berkecamuk dan tak menentu.
Aku kembali teringat sebuah film “Ketika Cinta
Bertasbih I” tokoh Ana Althafunissa pernah bilang ke pada Abahnya saat
malam-malam ia pulang sendirian dan tidak ditemani oleh sang suami. Abahnya pun
telah mengira ada pertengkaran hebat diantara mereka berdua. “Kalian bercerai,
nduk?” Tanya Abah. “Iya, Abah. Ana yang meminta cerai, suatu saat Abah akan
tahu kenapa Ana yang meminta cerai, wanita mana yang dalam hidupnya mau menjadi
janda, Bah. Ana rasa tidak ada”. Jawab Ana terisak menahan pilu. Ana meminta
cerai kepada suaminya karena suaminya, Furqon, sudah tidak jujur kepadanya.
Furqon menikahi Ana padahal Furqon mengindap penyakit HIV. Meskipun
kenyataannya Furqon adalah korban fitnah.
Aku menghela nafas yang amat panjang dan sangat
berat untuk ku tarik, aku katakan bukan itu juga alasannya kenapa aku ingin
sekali mengembalikan mahar ini padamu. Aku sepakat dengan Ana, tidak akan ada
wanita yang dalam hidupnya mau menjadi janda. Tidak ada, termasuk aku, aku
sangat mencintai suamiku, aku sangat mennyayangi suamiku dan juga kedua
anak-anakku karena Allah. Aku sangat menyayangi mereka. Tidak ada yang aku
banggakan selain keluarga kecilku, Mas Fahmi suamiku, Riri anak pertamaku dan
Faisal anak keduaku. Mereka adalah berlian yang harganya paling mahal sedunia,
lebih mahal dari berlian “De Beers”, berlian “Novo”, atau berlian “Elizabeth
Tailor”. Keluarga kecilku kuhargai lebih mahal dari apapun yang ada di dunia
ini. Keluarga yang aku bina bersama Mas Faisal suami yang sholeh yang merupakan
kriteria semua wanita. Beruntung dan sujud syukur aku bisa menjadi belahan
jiwanya, saat itu.
Iya, saat itu. Lima tahun yang lalu. Di mana
aku mengenal Mas Fahmi melalui Murobbiku lewat proses ta’aruf yang InshaAllah
diberkaihi Allah. Proses yang sangat lancar, yang aku tahu aku adalah wanita
biasa yang mencoba menjadi lebih baik yang mendapatkan seorang suami yang
begitu sholeh seperti Mas Fahmi. Sungguh laki-laki yang sangat sempurna menerut
pandangan mataku. Dan aku berjanji akan selalu setia melayani Mas Fahmi seumur
hidupku karena mengabdi kepadanya merupakan ladang pahala bagiku. Aku selalu
bersyukur.
Hingga lahirlah kedua mutiara kecilku,
matahariku, bulanku, dan bintangku, Riri dan Faisal yang sudah melengkapi
kebahagiaan keluargaku, yang semakin membuat aku beranggapan bahwa aku telah
memiliki keluarga yang sakinah mawadah wa rahmah.
Sehari-hari mas Fahmi sangat perhatian dengan
keluarganya, ia juga tipe lelaki yang sangat mencintai kedua orang tuanya juga
kedua orang tuaku. Ia bekerja sebagai manager di sebuah perusahaan di kotaku. Bukan
aku terlalu berbangga diri dengan keadaan suamiku itu, tapi itulah yang aku
rasakan pada saat itu. Seorang lelaki yang banyak hafalan Al-Qur’annya, tidak
pernah meninggalkan sholat berjamaah di masjid, tidak pernah meninggalkan
Al-Ma’tsurat, saum sunnah, tahajjud, semua itu ia bingkai dalam pribadi yang
taat kepada Allah. Bagaimana tidak aku merasa menjadi orang yang paling
beruntung di dunia ini, bagaimana tidak?.
Ia sangat menyayangiku, setiap hari ada saja
kejutan yang ia siapkan untukku. Baik di rumah maupun di luar rumah. Di
tengah-tengah kesibukkannya sebagai manager ia masih sangat memperhatikan
hal-hal terkecil di dalam rumah, tak terkecuali ia juga sering membantuku memcuci
piring, menyapu rumah, mencuci pakaian anak-anak dan mengatur tanaman di
halaman rumah kami. Betapa tidak, betapa tidak aku sangat bahagia. Sehingga aku
pikir, tidak akan ada masalah di dalam rumah tangga kami.
Ketika aku marah, Mas Fahmi selalu bisa
meluluhkan aku. Ia sangat menguasai bagaimana caranya menyenangkan hatiku.
Ah..... dunia ini terlalu indah untuk aku ceritakan saat bersama mas Fahmi dan
anak-anakku.
Sampai saat dimana aku sangat ingin
mengembalikan mahar dari mas Fahmi.
Pagi itu mas Fahmi sedang membuka Jejaring
sosial, ketika jam untuk beres-beres mandi dan sarapan sebelum berangkat ke
kantor. Mas Fahmi tidak meng-logout-nya.
Aku yang dari pagi sudah sibuk mempersiapkan segala keperluannya dan memandikan
anak-anak, lalu masuk ke kamar untuk memanggil mas Fahmi sarapan bareng. Entah
mengapa bola mataku tersedot ke layar monitor laptop mas Fahmi, yang biasanya
aku tidak pernah berani membuka-buka area pribadinya kecuali Mas Fahmi yang
telah mengizinkannya.
Namun, mataku semakin kuat saat kulihat dengan
jarak yang semakin dekat kearah layar laptop itu sebuah akun bernama “Sarahlia
Rahmi Fahmi”. “Degg” jantungku berdetak, berdenyut keras. Tanganku mulai
menggapai mouse-nya. Dan hatiku mulai
berkecamuk, antara jangan dibuka atau membukanya, setan begitu bergelut di
dalam lubuk hatiku. Namun aku kalah, tanganku tetap meraih mouse untuk membuka akun itu lebih jauh. Ku arahkan pointer pada nama “Sarahlia Rahmi Fahmi”,
pada wall-nya tak ku temukan hal yang aneh, hanya beberapa status yang di
tulisnya kemudian di “like” oleh mas
Fahmi. Oh, di setiap statusnya mengapa mas Fahmi selalu me “like”-nya? Aku semakin bingung saat nama
akun tersebut memakai nama belakang Mas Fahmi. Kemudian jari-jari ku tak kuasa
mengarahkan pointer ke “Message”. Dan
...
Ingin aku menjerit dan memekik sekuat tenaga,
namun rasanya tenaga ini sudah tak ada lagi. Aku lunglai jatuh kelantai,
tersimpuh rapi menahan air mata yang berderai-derai. Sungguh, saat itu hanya
aku dan Allah sajalah yang tahu apa yang ada dalam hatiku. Tangisan sikecil
Faisal tak mampu membangkitkan kakiku, hingga ku dengar dari kamar mandi Mas
Fahmi memanggilku “Sayang di mana? Faisal
nangis gitu, tinggalin dulu dong aktivitasnya, kasihan Faisal” teriaknya.
Aku hanya mampu mengusap air mata dan segera bangkit menyambar Faisal yang
menjerit menangis serta Riri yang sibuk merengek minta di buatkan bubur. Dengan
air mata yang masih berlinang-linang, aku susui Faisal dengan sayangnya, dan
sambil membuatkan bubur untuk Riri. Aku tahu Mas Fahri telah keluar dari kamar
mandi, namun senyap, ia tak terdengar memanggilku untuk menyiapkan dasinya,
yang aku tahu dasinya masih di ruang setrikaan. Sepi, sunyi dan senyap. Dan
beberapa menit kemudian.
Mas Fahmi berjalan dengan sangat pelannya ke
arahku, ia tak berani menatapku yang saat itu masih tetap mengelus-elus Faisal
untuk menenangkan tangisnya, karena meskipun telah ku susui ia tetap saja
menangis, meski Riri sudah asyik sarapan bubur sambil menikmati acara TV
kesukaannya. Aku diam, Mas Fahmi pun diam. Pada pagi itu suasana begitu seperti
di kutub utara, rasanya berada pada suhu di bawah 00C. Kemudian ia
duduk di depan ku dengan wajah yang masih saja tertunduk.
“Mas,
boleh mas antarkan saya pulang ke Batanghari?” Suaraku parau dan
ditegar-tegarkan mencoba membuka suara meski dengan pertanyaan yang begitu
menusuk. Aku melihat Mas Fahmi pucat dan meneteskan airmata. “Maafkan Mas, Sayang” Katanya kemudian. “Tidak apa-apa Mas, Mahar dari Mas belum saya
gunakan untuk suatu apapun kok, masih bisa saya kembalikan ke Mas” Kataku
kemudian. “Maafkan Mas, Sayang”
Berkali-kali Mas Fahmi mengucapkan kalimat itu dan pada akhirnya langsung
meraih tanganku dan hendak memelukku, berusaha untuk menjelaskan sesuatu, namun
aku segera menepisnya, di tengah tangisan Faisal yang sangat memilukan seumpama
Faisal tahu apa yang sedang dirasakan Ummi nya.
Dua minggu kemudian ...
Aku sudah resmi tanpa Mas Fahmi. Meski ia
memilihku namun rasa sakit dihati ini tak mampu untuk menerimanya kembali.
Berhari-hari airmataku tak berhenti mengalir, tidak ada wanita di dunia ini
yang mau menjadi janda, tidak ada, termasuk aku, namun aku harus menjadi janda
dengan dua anak yang masih sangat kecil ini.
Setahun yang lalu, melalui jejaring sosial mas
Fahmi berkenalan dengan Sarah, yang sudah kuketahui pemilik akun “Sarahlia
Rahmi Fahmi”. Karena seringnya berinteraksi, akhirnya tumbuh benih-benih cinta
di antara mereka berdua, dan sudah saling bertemu berdua. Interaksi melalui message jejaring sosial itu mereka pun
berjanji akan hidup bersama, dan berencana meminta izin menikah lagi kepadaku. Setahun
lalu, ternyata mas Fahmi telah menduakan aku, padahal yang aku ketahui selama
ini aku sangat mencintainya dan kuketahui ia juga mencintaiku. Bukan hanya itu,
Mas Fahmi yang Sholat berjamaahnya tak pernah tertinggal dan Al-Ma’tsuratnya
tak pernah tertinggalpun bisa seperti itu. Betapa tidak, aku tak mampu
menerimanya kembali, lebih baik aku sendiri Ya Allah. Tangisku berderai-derai.
Kembali ku ingat saat aku masih menjadi aktivis
kampus dahulu, betapa banyak aktivis-aktivis yang berguguran saat terlalu
banyak berinteraksi dengan lawan jenis melalui media. Sehingga mereka lebih
memilih meninggalkan jalan indah ini. Sampai saat itu aku berkata pada seorang
akhwat teman satu halaqohku “Aku maunya
besok nikah sama Ikhwan yang nggak punya jejaring sosial, pokoknya” saking
runyamnya suasana hatiku dan hati teman-temanku pada waktu itu. Namun, inilah
yang terjadi padaku, yang harus aku alami.
Sejatinya, aku hanya ingin seperti Ibunda
Khadijah r.a yang selama hidupnya tidak pernah di madu oleh Rasulullah SAW.
Meski akupun menyadari aku tak sesempurna Ibunda Khadijah, tapi cita-citaku
hanya ingin mencapai Mahabah dari Allah melalui pengabdianku kepada suamiku.
Namun Allah Maha menguatkan hati-hati yang
rapuh ini.
Dramaga, November 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar