Beranda Cand

Minggu, 02 Desember 2012

“Saat Aku Ingin Mengembalikan Maharmu” Saya adaptasi dari kisah nyata




Rasulullah SAW bersabda, "Bahwa ketika istri Tsabit bin Qais Al-Anshari r.a menyatakan tidak bisa melanjutkan rumah tangga dengannya karena tidak mencintainya, dan ia bersedia menyerahkan kembali kebun kepadanya yang dulu dijadikan sebagai mahar pernikahannya.
Beliau menyuruh Tsabit untuk menceraikannya, maka Tsabit pun melaksanakannya
."
(HR. AL-BUKHARI).

“Maksudku, bukan karena Hadist itu aku ingin mengembalikan mahar yang lima tahun yang lalu engkau berikan sebagai syarat syahnya ikatan suci kita di depan para saksi dan penghulu, di depan kedua orang tua kita, keluarga besar kita dan handai taulan yang datang pada saat pernikahan Barakah kita. InshaaAllah. Bukan itu, bukan itu maksudku”. Bathinku mulai berkecamuk dan tak menentu.

Aku kembali teringat sebuah film “Ketika Cinta Bertasbih I” tokoh Ana Althafunissa pernah bilang ke pada Abahnya saat malam-malam ia pulang sendirian dan tidak ditemani oleh sang suami. Abahnya pun telah mengira ada pertengkaran hebat diantara mereka berdua. “Kalian bercerai, nduk?” Tanya Abah. “Iya, Abah. Ana yang meminta cerai, suatu saat Abah akan tahu kenapa Ana yang meminta cerai, wanita mana yang dalam hidupnya mau menjadi janda, Bah. Ana rasa tidak ada”. Jawab Ana terisak menahan pilu. Ana meminta cerai kepada suaminya karena suaminya, Furqon, sudah tidak jujur kepadanya. Furqon menikahi Ana padahal Furqon mengindap penyakit HIV. Meskipun kenyataannya Furqon adalah korban fitnah.

Aku menghela nafas yang amat panjang dan sangat berat untuk ku tarik, aku katakan bukan itu juga alasannya kenapa aku ingin sekali mengembalikan mahar ini padamu. Aku sepakat dengan Ana, tidak akan ada wanita yang dalam hidupnya mau menjadi janda. Tidak ada, termasuk aku, aku sangat mencintai suamiku, aku sangat mennyayangi suamiku dan juga kedua anak-anakku karena Allah. Aku sangat menyayangi mereka. Tidak ada yang aku banggakan selain keluarga kecilku, Mas Fahmi suamiku, Riri anak pertamaku dan Faisal anak keduaku. Mereka adalah berlian yang harganya paling mahal sedunia, lebih mahal dari berlian “De Beers”, berlian “Novo”, atau berlian “Elizabeth Tailor”. Keluarga kecilku kuhargai lebih mahal dari apapun yang ada di dunia ini. Keluarga yang aku bina bersama Mas Faisal suami yang sholeh yang merupakan kriteria semua wanita. Beruntung dan sujud syukur aku bisa menjadi belahan jiwanya, saat itu.

Iya, saat itu. Lima tahun yang lalu. Di mana aku mengenal Mas Fahmi melalui Murobbiku lewat proses ta’aruf yang InshaAllah diberkaihi Allah. Proses yang sangat lancar, yang aku tahu aku adalah wanita biasa yang mencoba menjadi lebih baik yang mendapatkan seorang suami yang begitu sholeh seperti Mas Fahmi. Sungguh laki-laki yang sangat sempurna menerut pandangan mataku. Dan aku berjanji akan selalu setia melayani Mas Fahmi seumur hidupku karena mengabdi kepadanya merupakan ladang pahala bagiku. Aku selalu bersyukur.

Hingga lahirlah kedua mutiara kecilku, matahariku, bulanku, dan bintangku, Riri dan Faisal yang sudah melengkapi kebahagiaan keluargaku, yang semakin membuat aku beranggapan bahwa aku telah memiliki keluarga yang sakinah mawadah wa rahmah.
Sehari-hari mas Fahmi sangat perhatian dengan keluarganya, ia juga tipe lelaki yang sangat mencintai kedua orang tuanya juga kedua orang tuaku. Ia bekerja sebagai manager di sebuah perusahaan di kotaku. Bukan aku terlalu berbangga diri dengan keadaan suamiku itu, tapi itulah yang aku rasakan pada saat itu. Seorang lelaki yang banyak hafalan Al-Qur’annya, tidak pernah meninggalkan sholat berjamaah di masjid, tidak pernah meninggalkan Al-Ma’tsurat, saum sunnah, tahajjud, semua itu ia bingkai dalam pribadi yang taat kepada Allah. Bagaimana tidak aku merasa menjadi orang yang paling beruntung di dunia ini, bagaimana tidak?.

Ia sangat menyayangiku, setiap hari ada saja kejutan yang ia siapkan untukku. Baik di rumah maupun di luar rumah. Di tengah-tengah kesibukkannya sebagai manager ia masih sangat memperhatikan hal-hal terkecil di dalam rumah, tak terkecuali ia juga sering membantuku memcuci piring, menyapu rumah, mencuci pakaian anak-anak dan mengatur tanaman di halaman rumah kami. Betapa tidak, betapa tidak aku sangat bahagia. Sehingga aku pikir, tidak akan ada masalah di dalam rumah tangga kami.

Ketika aku marah, Mas Fahmi selalu bisa meluluhkan aku. Ia sangat menguasai bagaimana caranya menyenangkan hatiku. Ah..... dunia ini terlalu indah untuk aku ceritakan saat bersama mas Fahmi dan anak-anakku.

Sampai saat dimana aku sangat ingin mengembalikan mahar dari mas Fahmi.

Pagi itu mas Fahmi sedang membuka Jejaring sosial, ketika jam untuk beres-beres mandi dan sarapan sebelum berangkat ke kantor. Mas Fahmi tidak meng-logout-nya. Aku yang dari pagi sudah sibuk mempersiapkan segala keperluannya dan memandikan anak-anak, lalu masuk ke kamar untuk memanggil mas Fahmi sarapan bareng. Entah mengapa bola mataku tersedot ke layar monitor laptop mas Fahmi, yang biasanya aku tidak pernah berani membuka-buka area pribadinya kecuali Mas Fahmi yang telah mengizinkannya.

Namun, mataku semakin kuat saat kulihat dengan jarak yang semakin dekat kearah layar laptop itu sebuah akun bernama “Sarahlia Rahmi Fahmi”. “Degg” jantungku berdetak, berdenyut keras. Tanganku mulai menggapai mouse-nya. Dan hatiku mulai berkecamuk, antara jangan dibuka atau membukanya, setan begitu bergelut di dalam lubuk hatiku. Namun aku kalah, tanganku tetap meraih mouse untuk membuka akun itu lebih jauh. Ku arahkan pointer pada nama “Sarahlia Rahmi Fahmi”, pada wall-nya tak ku temukan hal yang aneh, hanya beberapa status yang di tulisnya kemudian di “like” oleh mas Fahmi. Oh, di setiap statusnya mengapa mas Fahmi selalu me “like”-nya? Aku semakin bingung saat nama akun tersebut memakai nama belakang Mas Fahmi. Kemudian jari-jari ku tak kuasa mengarahkan pointer ke “Message”. Dan ...

Ingin aku menjerit dan memekik sekuat tenaga, namun rasanya tenaga ini sudah tak ada lagi. Aku lunglai jatuh kelantai, tersimpuh rapi menahan air mata yang berderai-derai. Sungguh, saat itu hanya aku dan Allah sajalah yang tahu apa yang ada dalam hatiku. Tangisan sikecil Faisal tak mampu membangkitkan kakiku, hingga ku dengar dari kamar mandi Mas Fahmi memanggilku “Sayang di mana? Faisal nangis gitu, tinggalin dulu dong aktivitasnya, kasihan Faisal” teriaknya. Aku hanya mampu mengusap air mata dan segera bangkit menyambar Faisal yang menjerit menangis serta Riri yang sibuk merengek minta di buatkan bubur. Dengan air mata yang masih berlinang-linang, aku susui Faisal dengan sayangnya, dan sambil membuatkan bubur untuk Riri. Aku tahu Mas Fahri telah keluar dari kamar mandi, namun senyap, ia tak terdengar memanggilku untuk menyiapkan dasinya, yang aku tahu dasinya masih di ruang setrikaan. Sepi, sunyi dan senyap. Dan beberapa menit kemudian.

Mas Fahmi berjalan dengan sangat pelannya ke arahku, ia tak berani menatapku yang saat itu masih tetap mengelus-elus Faisal untuk menenangkan tangisnya, karena meskipun telah ku susui ia tetap saja menangis, meski Riri sudah asyik sarapan bubur sambil menikmati acara TV kesukaannya. Aku diam, Mas Fahmi pun diam. Pada pagi itu suasana begitu seperti di kutub utara, rasanya berada pada suhu di bawah 00C. Kemudian ia duduk di depan ku dengan wajah yang masih saja tertunduk.

Mas, boleh mas antarkan saya pulang ke Batanghari?” Suaraku parau dan ditegar-tegarkan mencoba membuka suara meski dengan pertanyaan yang begitu menusuk. Aku melihat Mas Fahmi pucat dan meneteskan airmata. “Maafkan Mas, Sayang” Katanya kemudian. “Tidak apa-apa Mas, Mahar dari Mas belum saya gunakan untuk suatu apapun kok, masih bisa saya kembalikan ke Mas” Kataku kemudian. “Maafkan Mas, Sayang” Berkali-kali Mas Fahmi mengucapkan kalimat itu dan pada akhirnya langsung meraih tanganku dan hendak memelukku, berusaha untuk menjelaskan sesuatu, namun aku segera menepisnya, di tengah tangisan Faisal yang sangat memilukan seumpama Faisal tahu apa yang sedang dirasakan Ummi nya.

Dua minggu kemudian ...

Aku sudah resmi tanpa Mas Fahmi. Meski ia memilihku namun rasa sakit dihati ini tak mampu untuk menerimanya kembali. Berhari-hari airmataku tak berhenti mengalir, tidak ada wanita di dunia ini yang mau menjadi janda, tidak ada, termasuk aku, namun aku harus menjadi janda dengan dua anak yang masih sangat kecil ini.

Setahun yang lalu, melalui jejaring sosial mas Fahmi berkenalan dengan Sarah, yang sudah kuketahui pemilik akun “Sarahlia Rahmi Fahmi”. Karena seringnya berinteraksi, akhirnya tumbuh benih-benih cinta di antara mereka berdua, dan sudah saling bertemu berdua. Interaksi melalui message jejaring sosial itu mereka pun berjanji akan hidup bersama, dan berencana meminta izin menikah lagi kepadaku. Setahun lalu, ternyata mas Fahmi telah menduakan aku, padahal yang aku ketahui selama ini aku sangat mencintainya dan kuketahui ia juga mencintaiku. Bukan hanya itu, Mas Fahmi yang Sholat berjamaahnya tak pernah tertinggal dan Al-Ma’tsuratnya tak pernah tertinggalpun bisa seperti itu. Betapa tidak, aku tak mampu menerimanya kembali, lebih baik aku sendiri Ya Allah. Tangisku berderai-derai.

Kembali ku ingat saat aku masih menjadi aktivis kampus dahulu, betapa banyak aktivis-aktivis yang berguguran saat terlalu banyak berinteraksi dengan lawan jenis melalui media. Sehingga mereka lebih memilih meninggalkan jalan indah ini. Sampai saat itu aku berkata pada seorang akhwat teman satu halaqohku “Aku maunya besok nikah sama Ikhwan yang nggak punya jejaring sosial, pokoknya” saking runyamnya suasana hatiku dan hati teman-temanku pada waktu itu. Namun, inilah yang terjadi padaku, yang harus aku alami.

Sejatinya, aku hanya ingin seperti Ibunda Khadijah r.a yang selama hidupnya tidak pernah di madu oleh Rasulullah SAW. Meski akupun menyadari aku tak sesempurna Ibunda Khadijah, tapi cita-citaku hanya ingin mencapai Mahabah dari Allah melalui pengabdianku kepada suamiku.

Namun Allah Maha menguatkan hati-hati yang rapuh ini.

Dramaga, November 2012.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar